I. ADA’ WA
TAHAMUL AL-HADITS
MAKALAH
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Haadis
Dosen
Pengampu: Ikhrom M.Ag
Disusun Oleh :
Himmatul
Chamiah (133711011)
Ranum Saputri (133711019)
Kelas : TK-3A
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
T
PENPENDAHULUAN
Sudah kita ketahui bersama bahwasanya al
qur’an dan al hadist adalah sumber hukum islam. Hukum islam dalam salah satu
aspek yang menempati posisi penting dalam pandangan islam, karena ia merupakan
manifestasi paling tipikal dan paling konkrit dari islam karena sebagai suatu
agama. Sedemikian pentingnya dari islam dalam skema doktrinal islam, sehingga
seorang orientalis, joseph schact menilai bahwa, “ sangat mustahil memahami
islam tanpa mengetahui hukum islam “. Al hadis adalah sumber hukum islam kedua
setelah Al-qur’an. Sebagai suatu dasar hukum al hadits tentu tidak ada
sendirinya melainkan dengan melalui proses yang sangat panjang, karena
hadis-hadis itu tidak hanya di dengar oleh seorang rawi hadis saja tetapi
mereka juga sepakat bahwa hadis itu memang benar. Dalam perkembangannya
sehingga kita dapat melihat hadis-hadis yang telah di bukukan dan di susun
sedemikian rupa tidaklah terlepas dari proses penerimaan dan periwayatan hadis
tersebut. Adapun dalam makalah ini akan di paparkan tentang proses penerimaan
hadis serta periwayatannya.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
Proses ada’ wa tahamul al-hadits?
2. Bagimana
proses sifat
periwayatan, dan syarat penyampaian hadist?
3. Bagaimana
komponen-komponen penting dalam proses ada’ wa tahamul al-hadits?
4. Apa
saja 8 metode PTH dan bagaimana perbedaan antara 8 metode tersebut?
III.
PEMBAHASAN
A. Proses
penerimaan hadis (tahamul hadis)
1.
Penerimaan
Anak-Anak, Orang Kafir dan Orang Fasik
Menurut Jumhur Ulama’ ahli hadist
bahwa periwayatan suatu Hadist oleh anak yang belum sampai umur (belum
Mukallaf) dianggap sah apabila periwayatan hadist tersebut disampaikan kepada
orang lain pada waktu sudah mukallaf. Hal ini didasarkan pada keadaan para
sahabat, tabi’in dan ahli ilmu setelahnya yang menerima periwayatan hadist
seperti Hasan, Abdullah bin zubeir, Ibnu abbas, Nu’man bin Basyir Salib bin
Zazid dan lain-lain dengan tanpa mempermasalahkan apakah mereka telah baligh
atau belum. namun mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal usia anak yang
diperbolehkan bertahammul, sebab permasalahan ini tidak terlepas dari
ketamyizan anak tersebut.
Al-Qaddhi ‘Iyad menetapkan batas
minimal usia anak diperbolehkan bartahamul paling tidak sudah berusia lima
tahun, karena pada usia itu ia sudah mampu menghafal apa yang didengar dan
mengingat-ingat yang dihafal. Selain itu Ibnush Shaleh mengatakan bahwa:”
Inilah yang berlaku diantara Ahlul Hadist, yakni menulis hadist yang
diriwayatkan oleh anak-anak yang sudah berumur 5 tahun.
Mengenai
anak kecil yang menulis hadist, maka yang menjadi pegangannya ialah keahlian
dan kesanggupannya untuk yang demikian itu. Menurut Abu Abdullah Al-Zuba’i
bahwa sebaiknya anak diperbolehkan menulis hadist pada saat usia mereka telah
mencapai umur sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna.
Artinya mereka telah mempunyai kemampuan untuk menghafal dan mengingat
hafalannya dan mulai menginjak dewasa. Sementara ulama Syam memanbdang usia
yang ideal bagi seseorang untuk meriwayatkan hadist setelah berusia 30 tahun,
dan Ulama Kufah berpendapat minimal berusia 20 tahun.
Mengenai penerimaan Hadist bagi
orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama ahli hadist menganggap sah, asalkan
hadist tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada saat mereka telah masuk
islam dan bertaubat. Alasan yang mereka
kemukakan adalah kejadian yang mereka saksikan dan juga banyaknya sahabat Nabi
yang mendengar sebelum mereka masuk Islam. Diantara sahabat yang mendengar
Sabda Nabi SAW. Sebelum mereka masuk islam adalah Zubaer bin Awwan. Dia pernah
mendengar Nabi SAW. Membaca surat At-Thur pada waktu sembahyang Maghrib ketika
dia tiba di Madinah untuk menyelesaikan perang badar dalam keadaan masih kafir
hingga akhirnya dia masuk Islam. Apabila penerima hadist oleh orang kafir yang
disampaikan setelah masuk islam dapat diterima, maka hadist yang diriwayatkan
orang fasik setelah dia bertobat dianggap sah.[1]
Ada’ secara bahasa adalah sampai atau melaksanakan.
Al-Ada’ al-Hadist adalah suatu proses menyampaikan dan meriwayatkan Hadist
kepada orang lain. Al-Ada’ adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadist pada
murid atau proses memperluas hadist setelah ia menerima dari seorang guru.
Sedangkan Al-Tahamul adalah mengambil dan menerima hadist dari seorang guru
dengan menggunakan beberapa metode penerimaan Hadist.
B. Proses
Periwayatan Hadist ( Al-ada’ al-Hadist),
Sifat Periwayatan, dan syarat
penyampaian hadist
Ada’
secara bahasa adalah sampai atau melaksanakan. Al-Ada’ al-Hadist adalah suatu
proses menyampaikan dan meriwayatkan Hadist kepada orang lain. Al-Ada’ adalah
meriwayatkan dan menyampaikan hadist pada murid atau proses memperluas hadist
setelah ia menerima dari seorang guru. Sedangkan Al-Tahamul adalah mengambil
dan menerima hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode
penerimaan Hadist.
Menurut istilah
ilmu hadis, yang dimaksud periwayatan ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian
hadis serta menyandarkannya kepada rangkaian para periwayat hadis itu dengan
bentuk-bentuk tertentu.[2]
Dalam ada
al-hadist syarat untuk menyampaikan hadist diantaranya:
1) Beragama
Islam
2) Sudah
sampai umur (baligh)
3)
Adil (al-‘adalah)
Adalah
suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang
mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadiaan dan percaya pada
diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian
dosa kecil, dan menjauhkan dari hal-hal yang mubah.
4)
Dzabit
Ialah teringat kembali perawi saat penerimaan dan
pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan hafal sejaak waktu menerima hingga
menyampaikannya. Jalannya mengetahui ke-dhabit-tan perawi dengan jalan I’tibar
terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan
keyakinan[3]
Diantaranya
syarat-syarat rawi Hadist diantaranya sebagai berikut :
1)
Ketahanan
ingatan informator (dzabitu rawi)
2)
Integritas
keamanan (yang melahirkan tingkat kredibilitas)
Mengetahui maksud kata yang ada
dalam Hadist dan tahu artinya apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja
(bil ma’na).
Syarat pertama hadits itu dikatakan shahih, sebagaimana disebutkan oleh para
Ulama’ Muhadditsin adalah tersambungnya suatu sanad/jalan suatu hadits. Salah
satu cara pembuktian tersambungnya sanad adalah dengan mengetahui metode
berpindahnya suatu hadits dari satu rawi ke rawi lain. Dalam Ilmu Musthalah
hadits, ilmu ini lebih dikenal dengan nama “Thuruq at-Tahammul wa Ada
al-hadits”.
Dalam Musnad Ahmad bin Hanbal
(w. 241 H), beliau meriwayatkan sebuah hadits marfu’ bahwa Nabi Muhammad
bersabda:
حَدَّثَنَا
أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "تَسْمَعُونَ، وَيُسْمَعُ
مِنْكُمْ، وَيُسْمَعُ مِمَّنْ يَسْمَعُ مِنْكُم"
“Kalian mendengarkan dan
didengarkan dari kalian dan didengar dari orang yang mendengar dari kalian”
(HR.Ahmad)[2]. Syuaib al-Arnauth dalam tahqiqnya menyatakan hadits ini shahih.[4]
Adapun
Sifat Periwayatan diantaranya:
1.Ungkapan
dan Periwayatan sesuai dengan Cara-Cara Penerimaannya
a.
Ungkapan
hadist yang diterima dengan cara mendengarkan langsung
Dalam penyampaian hadist yang
diterima dengan cara mendengar langsung diperbolehkan menggunakan semua ungkapan
penyampaian seperti: حَدَّثَنَا،
اَخْبَرَنَا، خَبَّرْنَا، اَنْبَأَنَا عَنْ، قَالَ، حَكَى، اِنَّافُلاَنًاقَالَ. Semua ungkapan
ini digunakan untuk menyatakan pendengaran terhadap hadist dari seorang guru
hadist sebagaimana dijelaskan oleh Qadhi Iyadh dan lainnya.kebanyakan rawi
dahulu berpegang pada kemutlakan makna dan petunjuk tersebut. Setelah pembukuan
hadist menjadi semakin banyak dan penerimaan hadist banyak ditempuh melalui
ijazah dan sejenisnya. Para kritikus hadist menemukan kelonggaran yang
mengakibatkan keserupaan antara ungkapan untuk hadist yang diterima melalui
pendengaran dan hadist yang diterima melalui pendengaran dan hadist yang
diterima melalui cara lain. Oleh karena itu mereka mengutamakan penyampaian
hadist dengan ungkapan yang menunjukkan adanya pendengaran. Ungkapan yang
paling tinggi adalah سَمِعْتُ kemudian حَدَّثَنَا dan حَدَّثَنِى sebagaimana
dijelaskan al-Bagdadi dalam al-Kifayah.
b.
Ungkapan
penyampaian hadist yang diterima melalui
al-Ardh
Ungkapan yang paling tepat untuk hadist
yang diterima melalui cara demikian adalah,,atau aa kemudian ,,dan sebagainya.
Penggunaan ungkapan hadatsana dan akhbarana dakam penyampaian hadist
diperbolehkan menurut Imam-bukhari dan al-zuhri, membedakan ked dua lafald
tersebut dan membedakan kedua lafaldz tersebut dengan melarang menggunakan kata
haddatsana dengan memilih lafal akhbarana.
c.
Ungkapan
penyampaian hadist yang diterima melalui ijazah dan munawalah
Ulama
hadist mutaakhirin menggunakan lafal anba anaa sebagai
ungkapan penyampaian hadist yang diterima melalui ijazah, padahal lafal ini
semula menurut ulama mutaqaddimin sejajar dengan lafal akhbarana.
d.
Ungkapan
penyampaian hadist yang diterima melalui mukatabah
e.
Ungkapan
periwayatan hadist yang diterima melalaui I’lam dan wasiat
2.
Periwayatan
Hadist dengan makna
Ini termasuk ilmu riwayat hadist yang
paling penting karena padanya terjadi perbedaan pendapat serta ketidakjelasan
serta banyak problemnya yang diantaranya:
a.
Tidak
ada perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa orang yang bodoh, rawi pemula,
orang yang belum mahir ilmu hadist, tidak menonjol pengetahuaanya tentang
struktur lafal dan kalimat bahasa arab dan tidak paham terhadap makna hadist
tidak boleh meriwayatkan dan menceritakan hadist kecuali dengan lafal yang
didengarnya
b.
Ulama
salaf, ulama hadist, fiqih dan ushul berbeda pendapat dalam hal boleh tidanya
periwayatan hadist dngan makna bagi orang-orang yang mengetahui makna-makna
lafal dan sasaran khithab.
c.
Jumhur
ulama termasuk imam yang empat berpendapat bolehnay meriwayatkan hadist dengan
makna bagi orang yang berecimpang dalam ulumul hadist dan selektif dalam
mengidentifikasi karakter lafal-lafal
hadis manakala hadist itu bercampur aduk, sebab hadist yang diriwayatkan dengan
maknanya saja harus memenuhi dua kriteria, yaitu: lafal hadist bukan bacaan
ibadah dan hadis tersebut tidak termasuk jawami’ al-kalim (kata-kata yang sarat
makna) diucapkan Nabi SAW. Pendapat ini yang sahih karena hadis yang memenuhi
kriteria diatas pokok permasalahannya terletak pada maknanya bukan pada
lafalnya.
d.
Bukti
empiris yang lebih kuat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli
hadist menyampaikan hadist dengan
maknanya saja bahkan selain dengan bahasa arab.
e.
Bukti
lain adalah bahwa periwayatan hadist dengan maknanya telah dilakukan oleh para
sahabat dan ulama salaf periode pertama.
Periwayatan
hadis dengan makna itu tidak diperbolehkan kecuali bagi yang menguasai
bahasanya, dan tidak dikhawatirkan akan menyimpangkan lafal makna hadis yang
bersangkutan.
Orang yang
meriwaatkan hadis dengan makna itu pasti suatu ketika pasti mengalami kesalahan
dalam memahami hadisnya , kemudian dia meriwayatkannya dengan pemahaman yang
salah itu.
3.
Pemeliharaan
kaidah-kaidah bahasa Arab
Para
ulama telah menetapkan dan sepakat bahwa hendaknya seorang pencari hadis
mengetahui bahasa Arab. Al-ashmu’I mengatakan :’ yang palin aku khawatirkan
atas pencari hadis adalah apabila ia tidak mengetahui ilmu nahwu, maka ia
termasuk orang yang terkena ancaman Rasulullah SAW.
D.
8 Metode PTH dan Perbedaan Antara 8 Metode Tersebut
Para
ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi
delapan macam yakni:
a.
Al-Sima’
Yakni
suatu cara penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan
gurunya dengan cara didektekan baik dari hafalannya maupun tulisannya. Menurut
jumhur ahli hadis metode ini merupakan cara penerimaan hadis yang paling tinggi
penerimaanya. Sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa al-Sama’ yang dibarengi
dengan al-Kitabah mempunyai nilai lebih tinggi dan paling kuat. Karena terjamin
kebenarannya dan terhindar dari kesalahan dibanding dengan cara-cara lainnya,
disamping para sahabat juga menerima hadis dari Nabi SAW dengan syarat seperti
ini.Termasuk dalam metode sama’ juga orang yang mendengarkan hadits dari Syeikh dari balik sattar (semacam kain pembatas/penghalang).
2.
Al-Qiraah
(Membaca hadis di hadapan guru)
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang
membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun
orang lain, sedangkan guru mendengarkan atau menyimaknya, baik sang guru hafal
ataupun tidak tetapi ia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia
tergolong tsiqqah.
Ajjaj al-khatib, dengan mengutip
pendapat imam ahmad mensyaratkan orang membaca itu mengetahui apa yang dibaca.
Sementara, syarat bagi syeikh dengan mengutip pendapat imam Haramain hendaknya
yang ahli dan teliti ketika mendengar atau menyimak dari apa yang dibacakan
oleh qari’, sehingga takhrif maupun
tashif dapat terhindarkan. Jika tidak demikian, maka proses tahammul tidak
sah.
Para
ulama sepakat bahwa cara yang demikian di anggap sah, namun mereka berbeda
pendapat mengenai derajat al-qari’ah.
Ibnu al salah, Imam nawawi, dan jumhur ulama memandang bahwa al-sama’ lebih tinggi derajatnya
dibanding dengan cara al-qira’ah.
3.
Al-Ijazah
Adalah ijin guru
untuk meriwayatkan hadist atau kitab yang diriwayatkan darinya padahal murid
itu tidak mendengar hadist tersebut atau tidak membaca kitab tersebut
dihadapannya. Jumhur ulam’ muhadditsin dan lainnya memperboehkan periwayatan
hadist dengan cara demikian.
Ijazah itu identik dengan periwayatan atau pemberitahuan secara global
tentang suatu kitab atau beberapa kitab, bahwasannya semua itu adalah
hadist-hadist yang diriwayatkan.orang yang menyandang hak Ijazah tidak
boleh meriwayatkan hadistnya sebelum ia mencocokkan naskahnya dengan naskah
yang telah dicocokkan dengannya.[5]
جَوَارُ المَاءِ الَّذِيْ سَقَاةُ المَالَ مِنَ المَاشِيَّةِ وَالحَرْثِ .
Mengalirkan air yang digunakan untuk menyiram kekayaan berupa binatang
ternak atau persawahan.[6]
Al-qadhi membagi ijazah menjadi enam macam dan ditambah
satu lgi oleh Ibnu al-shaleh. Ketujuh macam ijazah itu adalah:
1)
Seorang
guru mengijazahkan kepada seseorang tertentu sebuah kitab/ beberapa kitab yang
dia sebutkan kepada mereka. Dan Al-ijazah seperti ini diperbolehkan menurut
jumhur ulama.
2)
Ijazah
kepada orang tertentu untuk meriwayatkan sesuatu yang tidak tertentu.
3)
Bentuk
Ijazah secara umum.
4)
Bentuk
Ijazah kepada orang tidak tertentu untuk meriwatkan sesuatu yang tidak
tertentu. Tetapi cara seperti ini dianggap fasik.
5)
Keempat
bentuk Ijazah kepada orang yang tidak ada.
6)
Bentuk
ijazah mengenai sesuatu yang belum diperdengarkan kepada penerima ijazah.
7)
Bentuk
ijazah al-Mu’jaz.[7]
4.
Al-munawalah
Yakni seorang
guru memberikan hadist atau beberapa hadist atau sebuah kitab kepada muridnya
untuk diriwatkan. Selain itu al-hiwalah adalah seorang guru memberikan kitab
aski kepada seorang murid kitab asli yang didengar dari gurunya, atau sesuatu
naskah yang dicocokkan sambil berkata inilah hadist-hadist yang sudah saya
dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadist ini dariku dan saya ijazahkan
kepadamu untuk diriwayatkan. Al-Munawalah ini ada dua bentuk,yaitu:
1)
Al-Munawalah
dibarengi dengan ijazah.
Hadist yang berdasarkan al-Munawalah
biasanya menggunakan redaksi : انبا
نان، انبا نى
(seseorang telah memberitahukan kepadaku).
2)
Al-Munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru
kepada muridnya “ini hadist saya” atau ini adalah hasil pendengaranku atau dari
periwayatanku” dan ia tidak mengatakan riwayatkanlah atau saya ijazahkan
kpadamu” maka menurut para ulama ini tidak boleh diriwayatkan. Hadist ini
biasanya menggunakan redaksi: انبا نان، انبا
نى
(seseorang telah memberitahukan kepadaku/kami).
5.
Al-Mukatabah
Yang
dimaksud al mukatabah adalah seorang muhaddis menulis suatu hadis lalu
mengirimkannya kepada muridnya. Mukatabah terdiri dari dua macam.
1)
Al-Mukatabah diberengi dengan ijazah. Ini sewaktu guru menuliskan sebuah
hadist kemudian mengatakan” ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah
atau “saya ijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan kepada orang lain”.
Al-Munawalah yang dibarengi dengan ijazah ini sama halnya dengan al-Munawalah
yang dibarengi dengan dibarengi dengan ijazah, dan ini dapat diterima.
2)
Al-Mukatabah
yang tidak dibarengi dengan ijazah, yaitu guru menuliskan hadist untuk
diberikan kepada muridnya dengan tanpa disertai perintah untuk meriwayatkan
atau meng-ijazah-kan.
Al- mukatabah dalam bentuk ini
diperselisihkan oleh banyak ulama, ayub, al-lais, dan tidak sedikit dari ulama
syafiiyahdan ulama usnul menganggap sah periwayatan ini, sedangkan al-Mawardi
menganggap tidak sah.
6.
Al-I’lam
Yakni
pemberitahuan oleh seorang Muhaddist kepada seorang pencari Hadist bahwa hadist
atau kitab yang ditunjukkannya adalah hadist atau kitab yang didengarnya dari
seseorang tanpa disertai ijin periwayatannya kepadanya. Sebagian besar ulama ushul
bahwa periwayatan hadist yang didapat melalui al-’ilam tidak boleh
dilakukan. Tetapi sebagian besar muhadditsin, fuqaha, dan ulama’ ushul
memperbolehkan periwayatan hadist yeng diterima melalui al-i’lam meskipun tidak
disertai ijazah. Pendapat ini juga disepakati oleh al-Ramahurmuzi. Qadhi ‘iyadh
berkata,” pendapat ini benar dan tidak ada alternatuf lain, karena melarang
seseorang meriwayatkan hadist yang telah diriwayatkan bukan karena ada cacat
atau ada keraguan tidak dapat dibenarkan, karena ia benar-benar telah
meriwayatkannya dan tindakannya itu tidak dapat diralat kembali.
Letak kebenaran pendapat Qadhi ‘Iyadh adalah
penerimaan hadist dengan ijazah itu dipandang sah karena dalam ijazah terdapat
pemberitahuan secara global, sedangkan al-I’lam identik dengan ikhbar, bahkan
lebih akurat darinya sebab disertai dengan isyarat terhadap kitab secara jelas
dan guru yang menunjukkan itu berkata ,”ini adalah hadist yang aku dengar dari
fulan”.
7.
Al-Wasiyah
Wasiat merupakan salah satu bentuk periwayatan
hadist yang dipandang lemah. Bentuknya yaitu seorang muhaddist berwasiat kepada
seseorang agar kitab-kitabnya diserahkan kepadanya ketika muhaddist itu
meninggal atau bepergian. Sebagian ulama salaf memberikan kelonggaran kepeda
orang yang ditunjuk dalam wasiat itu untuk meriwayatkan kitab-kitab tersebut
dari pemberi wasiat dan al-I’lam, dan beliau tidak membenarkan orang yang
berpendapat memperbolehkan wasiat dalam pemberian hadist. Ia berkata “pendapat
ini sangat jauh. Barang kali ini merupakan kekeliruan seorang alim atau dapat
dikatakan bahwa yang dikehendaki adalah periwayatan melelui jalan al-wijadah
seperti yang akan dijelaskan kemudian.”[8]
8.
Al-Wijadah
Al-Wijadah adalah kasus dimana seseorang menemukan
suatu hadist atau kitab hasil tulisan orang lengkap dengan sanadnya.
Orang
yang menemukan ini boleh meriwayatkannya dengan cara menceritakannya, dan untuk
itu ia berkata:
“Aku dapatkan pada tulisan fulan bahwasannya
fulan menceritakan kepada kami..”
Dalam meriwayatkannya ia tidak boleh haddatsana atau
akhbarana atau kata-kata lain yang yang menunjukkan ketersambungan sanadnya.
Tidak terjadi seorang ahli ilmu melakukan yang demikian dan mengategorikannya
sebagai hadist musnad yang bersambung sanadnya. Tidak pernah terjadi seorang
seorang ahli melakukan yang demikian dan mengategorikannya sebagai hadis musnad
yang bersambung sanadnya.
Kebanyakan
muhadditsin dan fuqaha dari kalangan madzab serta kalangan madzab Maliki serta
kalangan madzab lain tidak membolehkan pengalaman terhadap hadist terhadap
hadist yang diriwayatkan dengan cara demikian. Diriwayatkan dari al-Syafi’i
tulisan hasil yang diriwayatkan dengan cara demikian.
Pada intinya memang periwayatan hadist dengan
wijadah ini tidak dapat dinilai sebagai periwayatan yang sahih dan bersambung
sanadnya sampai pada penyusunannya akan tetapi wajib diamalkan kandungannya
apabila kitab itu dapat diandalkan, yaitu apabila suatu kitab itu telah
ditibjau dari segi terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat yang telah ditetapkan
manakala pengecekan dilakukan terhadap manuskrip.[9]
KESIMPULAN
1.
Pengertian al ada’ wa tahamul hadis dan syarat rawi
Ada’ secara bahasa adalah sampai atau melaksanakan.
Al-Ada’ al-Hadist adalah suatu proses menyampaikan dan meriwayatkan Hadist
kepada orang lain. Al-Ada’ adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadist pada
murid atau proses memperluas hadist setelah ia menerima dari seorang guru.
Sedangkan Al-Tahamul adalah mengambil dan menerima hadist dari seorang guru
dengan menggunakan beberapa metode penerimaan Hadist.
2.
Cara Penerimaan Hadits
Adapun cara penerimaan hadist menurut para Ulama’
dibagi menjadi delapan, yaitu: al sima’, al-ardh, al-ijazah, al-munawalah,
almukatabah, al-i’lam, al-wasyiyah, al-wijadah.
3.
Proses Periwayatan Hadist ( Al-ada’ al-Hadist),
Sifat Periwayatan, dan syarat penyampaian hadist.
a. syarat untuk menyampaikan hadist
diantaranya:
Beragama Islam, Sudah sampai umur (baligh), Adil (al-‘adalah),
dzabit.
b. Adapun Sifat Periwayatan diantaranya:
Ø Ungkapan dan Periwayatan sesuai dengan
Cara-Cara Penerimaannya yaitu : Ungkapan hadist yang diterima dengan cara
mendengarkan langsung, Ungkapan penyampaian hadist yang diterima melalui al-Ardh, Ungkapan penyampaian hadist yang
diterima melalui ijazah dan munawalah, Ungkapan penyampaian hadist yang
diterima melalui mukatabah, Ungkapan periwayatan hadist yang diterima melalaui
I’lam dan wasiat, ungkapan penyampaian hadist yang diterima melalaui wijadah,
Ø Periwayatan Hadist dengan makna
Ø Peringkasan hadis
Ø Pemeliharaan kaidah-kaidah bahasa Arab
4.
Para
ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi
delapan macam yakni: Al-Sima’, Al-Qiraah, Al-Ijazah, Al-munawalah, Al-I’lam, Al-Wasiyah, Al-Wijadah
IV.
PENUTUP
Demikian
makalah yang kami susun. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis membutuhkan sumbangsih kritik
maupun saran yang konstruktif demi perbaikan makalah selanjutnya.semoga makalah
ini bermanfaat dan menambah keilmuan serta pengetahuan kita.
[3] Munzier suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003).hlm.206.
[5] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadist, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012) hlm. 210.
[7] Munzier suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003).hlm.200-201.
[9] Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadist, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2012) hlm.208-217
0 komentar