Welcome to our blog, hope always give you many benefit in your life** tugas kita adalah untuk berbagi dan belajar

MAKALAH

SUMBER-SUMBER
AJARAN ISLAM

Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Pengantar Studi Islam
yang diampu oleh: M. Rikza Chamami, MSI












Ahmad Maulidin                              133711016
Fiki himmatul Aliyah                     133711017
Ranum saputri                                  133711018
 Luthfiyatu dzikriyah                       133711020
Aliefa sana                                          133711021

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN 2013






       I.            PENDAHULUAN
Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan yang menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa Dinul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu agama yang sekaligus menjadi pandangan atau pedoman hidup. Banyak sumber-sumber ajaran Islam yang digunakan mulai zaman muncul pertama kalinya Islam pada masa rasulullah sampai pada zaman modern sekarang ini. Sumber-sumber yang berasal dari agama Islam merupakan sumber ajaran yang sudah dibuktikan kebenarannya yaitu bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, sumber-sumber ajaran Islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam mengatasi berbagai permasalahan seperti bidang akhidah, sosial, ekonomi, sains, teknologi dan sebagainya.
Islam sangat mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan, terutama yang bersumber dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas dan juga ijtihad. Begitu sempurna dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam. Namun permasalahan disini adalah banyak umat Islam yang belum mengetahui betapa luas dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam guna mendukung umat Islam untuk maju dalam bidang pengetahuan.
    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa saja sumber-sumber ajaran Islam?
2.      Bagaimana Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam?
3.      Bagaimana Hadits sebagai sumber hukum kedua ajaran Islam?
4.      Bagaimana Ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits?






 III.            PEMBAHASAN
A.    Macam-macam sumber ajaran Islam
Sumber adalah tempat pengambilan, rujukan atau acuan dalam penyelenggaraan ajaran Islam, karena itulah sumber memiliki peranan yang sangat penting bagi pelaksanaan ajaran Islam. Dari sumber inilah umat Islam dapat memiliki pedoman-pedoman tertentu untuk melaksanakan proses ajaran Islam, tanpa adanya suatu sumber maka umat Islam akan terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan berahir pada kesesatan atau kenistaan.[1]
Dalam pembahasan disini akan diuraikan macam-macam sumber ajaran Islam yang diantaranya meliputi:
1.      Al-Quran
2.      Sunah
3.      Ijtihad
B.     Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam
1.      Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, qur’anan” yang berarti mengumpulkan dan menghimpun huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara teratur.[2] Ada juga sumber lain mengatakan bahwa Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yng sungguh tepat, karena tiada satu bacaanpun sejak anusia mengenl baca tulis yang dapat menandingi Al-Qur’an al-Karim, secara terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang diampaikan lewat malaikat jibril, yang dikomunikasikan dengn bahasa arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi pedoman bagi para pengikutnya yaitu umat Islam diseluruh dunia.[3]
Pengertian Al-Qur’an dari segi terminologinya dapat dipahami dari pandangan beberapa ulama, bahwa:
a.       Muhammad Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur’an al-Karim” menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Yang ditulis dalam mushaf-mushf dan dinukilkan/ diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak percaya) ataupun surat terpendek.
b.      Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang diturunkan melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat an-Nas, yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.
c.       Muhammad abduh mendefinisikan Al-Qur’an sbagai kalam mulia yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi yang paling smpurna (Muhammad SAW) ajarannya mencakup keseluruhan ilmu  pengetahuan, ia merupakan sumber yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci daan berakal cerdas.
2.      Asbabun nuzul Al-Qur’an
a.       Pengertian asbabun nuzul
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata asbab dan nuzul. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Namun kata asbabun nuzul hanya dipergunakan khusus untuk Al-Qur’an. Para ulama berpendapat bahwa ketika memaknai kata nuzul, inzal, dan tanzil yang terdapat pada ayat Al-Qur’an, ada yang memaknai idhar yaitu melahirkan Al-Qur’an. Ada juga yang memanai bahwa Allah SWT mengajarkannya kepada malaikat jibril baik megenai bacaannya maupun pemahamannya lalu jibril menyampaikannya kepada nabi Muhammad SAW yang ada di bumi.
Menurut az-zarqani asbabun nuzul adalah khusus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya Al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.[4]
b.      Urgensi Asbabun Nuzul
Mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan yang terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbabun nuzul merupakan suatu hal yang signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an. Bahkan al-wahidi menyatakan ketidakmungkinan untuk menginterpretasikan Al-Qur’an tanpa mempertimbangkan aspek kisah dan asbabun nuzul.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan urgensi asbabun nuzul dalam memahami Al-Qur’an sebagai berikut:
1)      Membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan-pesan ayat Al-Qur’an.
2)      Mengatasi keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3)      Mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafazh yang bersifat umum.
4)      Mengidentifikasikan pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5)      Memudahkan untuk menghafalkan dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang mendengarnya
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal panggabean menyatakan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahn pra-qur’an dan pada masa Al-Qur’an menjanjikan beberapa manfaat praktis, yaitu
1)      Pemahaman itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral dan sosial pada masyarakat Arab saat itu, sikap Al-Qur’an terhadapnya, dan cara Al-Qur’an memodifikasi atau mentransformasi gejala itu hingga sejalan dengan pandangan dunia Al-Qur’an.
2)      Kesemuanya ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam mengidentifikasi dan menangani problem-problem yang mereka hadapi.
3)      Pemahaman tentang konteks kesejarahan pra-qur’an dan masa qur’an dapat menghindarkan kita dari praktik-praktik pemaksaan prakonsep dalam penafsiran.
c.       Macam-macam asbabun nuzul
1)      Dilihat dari segi sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun nuzul. Ada dua jenis redaksi yang dipergunakan oleh perawi dalam mengungkapkan riwayat asbabun nuzul yaitu:
Ø  Sharih (visionable/jelas). Artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbabun nuzul dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Contoh riwayat asbabun nuzul yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah riwayat yang diawakan oleh Jabir bahwa orang-orang yahudi berkata, “apabila suami mendatangi “qubul” istrinya dari belakang, anaknya yang lahir akan juling”. Maka turunlah ayat
نساءكم حرث ئكم فأ تو حر ثكم انّى شئتم
Artinya: “istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam maka datangilah tanah bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu hendaki.” (Q.S Al-Baqarah : 223)
Ø  Muhtamilah  (kemungkinan). Artinya riwayat yang belum jelas menunjukkan asbabun nuzul dan masih memungkinkan pula menunjukkan arti lain.
2)      Dilihat dari sudut pandang berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya ayat untuk asbabun nuzul.
a)      Berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat
Pada kenyataannya tidak setiap ayat memiliki riwayat asbabun nuzul dalam satu versi. Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbabun nuzul. Bentuk variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya. Untuk mengatasi variasi riwayat asbabu nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi, para ulama’ mengemukakan cara-cara berikut.
Ø  Tidak mempermasalahkannya
Ø  Mengambil versi riwayat asbabun nuzul yang menggunakan sharih
Ø  Melakukan studi selektif (tarjih)
b)      Variasi ayat untuk satu sebab
Terkadang suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau lebih.
d.      Tahapan turunnya Al-Qur’an
Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. Turunnya Al-Qur’an yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan nabi Muhammad SAW dan umatnya dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia. Allah menurunkan kepada manusia melalui 3 tahap yaitu:
1)      Al-Qur’an diturunkan  Allah dari Lauhul Mahfudz
Al-arqani tidak menyinggung lebih jauh tentang kapan penurunan Al-Qur’an di Lauhul Mahfudz ini. Beliau hanya menyatakan tidak ada yang tahu persis kapan Al-Qur’an diturunkan di Lauhul Mahfudz kecuali Allah sendiri.
2)      Dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza
Yaitu langit yang pertama yang tampak ketika dilihat di dunia ini namun tidak diketahui letak persisnya. Adapun jumlahnya adalah semuanya pada waktu Lailatul Qadr. Namun tanggalnya tidak diketahui, dan pada bulan Ramadhan.
Al-Qurtubi telah menukil dari Muqtil bin Hayyan riwayat tentang kesepakatan bahwa turunnya Al-Qur’an sekaligus dari Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza di langit di dunia. Sebetulnya tidak hanya Al-Qur’an saja yang diturunkan pada bulan Ramadhan, tetapi ada juga
a)      Taurat                                : 6 Ramadhan
b)      Suhuf Ibrahim                   : 1 Ramadhan
c)      Injil                                    : 13 Ramadhan
d)     Zabur                                 : 12 Ramadhan
3)      Dari Baitul ‘Izza ke Rasulullah
Tahapan ketiga atau yang terakhir adalah Al-Qur’an diturunkan dari Baitul ‘Izza kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara malaikat jibril. Penurunannya tidak secara langsung sekaligus, namun diangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun berdasarkan kebutuhan, peristiwa atau bahkan melalui permintaan malaikat jibril. Adapun kitab-kitab lain seperti tauraut, zabur dan injil diturunkan oleh Allah SWT dengan cara sekaligus tidak secara berangsur-angsur.[5]
3.      Isi dan pesan-pesan Al-Qur’an
Alqur’an diturunkan kepada nabi Muhammad kurang lebih selama 23 tahun, dalam dua fase yaitu 13 tahun pada  fase sebelum beliau hijrah ke Madinah (Makiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf. Proporsi masing-masing fase tersebuut adalah 86 surat untuk ayat-ayat Makiyah dan 28 surat untuk ayat-ayat Madaniyah.
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesa sebagai berikut; masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaaan pada yang gaib; masalah ibadah, yaitu egiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa;  masalah janji dan ancaman yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan sebaliknya ancaman siksa  bagi mereka yang berbuat jahat; jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan yang hendaknya dipenuhi untuk mencapai keridhaan Allah SWT; riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh maupun Nabi dan Rosul.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih memerinci pokok-pokok kandungan Al-Qur’an ke dalam 3 ktegori, yaitu:
a.       Masalah kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman kepada Allah, malaikat, kitabullah, rasulullah, hari kebangkitan dan taqdir.
b.      Masalah etika (khuluqiyah) berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan perhisan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c.       Masalah perbuatan  dan ucapan (‘amaliyah) yang terbagi dalam dua macam yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah  berkaitan dengan rukun Islam, nazar, sumpah dan ibadah-ibadah yang lain yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT. Mu’amalah berkaitan dengan akad, pembelanjaan, hukuman, jual-beli dan lainnnya yang mengtur hubungan manusia dengan sesama.
Ada dua segi pembahasan isi/kandungan Al-Qur’an, yaitu dimensi keagamaan dan dimensi keilmuan.
a.       Dimensi keagamaan
Al-Qur’an memberikan petunjuk dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan. Pertama, akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan; kedua, mengenai syariat dan hukum,dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya; ketiga, mengenai akhlak yang murni, dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya baik secara individual maupun kolektif
Menurut Prof. Dr. Mahmud Syaltut dalam “al-Islam wa al-syariah” bahwa Al-Qur’an mengandung berbagai persoalan-persoalan :
1)      Akidah yang wajib dimani.
2)      Budi pekerti yang dapat membersihkan jiwa, membentukpribadi dan masyarakat yang baik
3)      Petunjuk dan bimbingan untuk menyelidiki dan mentadaburi tentang rahasia-rahasia langit dan bumi.
4)      Peringatan dan ancaman
5)      Hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Sedangkan menurut Masyfuk Zuhdi bahwa isi atau kandungan ajaran Al-Qur’an pada hakekatnya mengandung lima prinsip, yaitu:
1)      Tauhid
Sekalipun Nabi Adam AS sebagai manusia pertama dan Nabi pertama adalah seorang monotheisme/muwahhid dan mengajarkan tauhid kepada turunannya, namun kenyataannya tidak sedikit manusia keturunannya itu yang menyimpang dari ajaran tauhid. Untuk meluruskan kepercayaan mereka yang menyimpang dari Tuhan dan untuk membimbing mereka ke arah yang lurus dan diridlai Tuhan, maka diutuslah para Nabi/Rasul secara silih berganti mulai Nabi Adam sampai Nabi Muhammad sebagai nabi penutup.
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad (pra Islam), keadaan manusia pada umumnya telah menyimpang dari ajaran tauhid dan ajaran-ajaranlainnya dari para nabi dan rasul sebelumnya, sekalipun sebagian mereka ada pula yang masih mengaku percaya pada keesaan Tuhan, tetapi sebenarnya tauhidnya sudah tidak murni lagi. Sebab Tuhan dianggap tidak tunggal sepenuhnya, melainkan ia terdiri dari beberapa oknum, misalanya doktrin tri murti atau trinitas dari agama Hindu dan Kristen.
2)      Janji dan ancaman tuhan
Tuhan menjanjikan kepada setiap orang yang beriman dan selalu mengikuti semua petunjuk-Nya akan mendapatkan kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat. Sebaliknya Tuhan akan mengancam kepada siapa saja yang ingkar kepada tuhan dan memusuhi nabi/rasul-Nya serta melanggar perintah-perintah dan larangan-laranga-Nya, akan mendapat kesengsaraan hidup di dunia maupun akhirat.
3)      Ibadah
Tujuan hidup manusia didunia ini adalah untuk meribaddah kepada Tuhan.pengertian ibadah menurut Islam adalah cukup luas,sebab tidak hanya berbatas padaslat,puasa, haji dan semacamnya. Tetapi semua aktifitas yang dilakukan manusia denga motivasi niat yang baik seprti untuk mencari ridlo Allah, semuanya dipandang ibadah.
Ibadah bagi manusia adalah berfungsi sebagai manifestasi manusia bersyukur kepada tuhan pencipta atas segala nikmat dan karunia. Dan juga berfungsi sebagai relisasi dan konsekwensi manusia atas kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4)      Jalan dan cara mencapai kebahagiaan
Setiap orang yang breagama pasti bercita-cita ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia maupun akhirat. Untuk bisa mencapai cita-citanya, Tuhan dalam Al-Qur’an memberikan petunjuk-petunjuk-Nya bahwa manusia harus menempuh jalan yang lurus dengan cara menghayati dan mematuhi segala aturan agam yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya.
5)      Cerita-cerita/sejarah-sejarah umat manusia sebelum Nabi Muhammad SAW
Didalam Al-Qur’an terdapat cerita-cerita tentang para nabi dan umatnya masing-masing. Cerita-cerita tersebut diungkapkan kembali didalam al-quran dengan maksud agar dijadikan pelajaran bagi manusia sekarang tentang bagiamna nasib manusia yang taat kepada tuhan. Disamping itu juga sebagai hiburan bagi Nabi Muhamad dan umat Islam pada permulaan Islam, agar nabi dan sahabat-sahabatnya tetap berteguh hati , tidak berkecil hati dalam menghadapi segala macam hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan yang sama bahkan yang lebih.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pada hakikatnya Al-Qur’an adalah kitab keagamaan, dan bukan suatu kitab atau ensiklopedi ilmu pengetahuan yang ddidlamnya membahas atau berisitentang teori-teori ilmiah.
b.      Dimensi keilmuan
Al-Qur’an adalah sumber segala pelajaran dan pengetahuan, didalamnya pembicaraan-pembicaraan dan kandungan isinya tidak semata-mata terbatas pada bidang-bidang keagamaan, ia meliputi berbagai aspek hidup dan kehidupan manusia.
Menurut Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas Damaskus, tak ada yang lebih menekankan pentingnya sains dari pada kenyataan bahwa: berbeda dengan bagian legislatif yang hanya 250 ayat saja, sedangkan 750 ayat Al-Qur’an –hampir seperdelapannya- menegur orang-orang mukmin untuk mempelajari alam semesta, untuk berfikir, untuk menggunakan penalaran yang sebaik-baiknya, untuk menjadikan kegiatan ilmiah ini sebagai bagian dari kehidupan umat.
Sekarang banyak ditemukan orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’andalam sorotan ilmiah modern. Dengan tujuan untuk menunjukkan mu’jizat Al-Qur’an dalam lapangan keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan keunikan Al-Qur’an, dan untuk menjadikan kaum muslimin bangga memiliki kitab seperti itu.
Pandangan mengenai Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan bukanlah merupakan sesuatu yang baru, karena banyak ulama besar kaum muslimin yang berpandangan demikian.
Dari keterangan diatas, para ulama berkeyakinan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia, dan mencakup apa yang diperlukan manusia dalam wilayah iman dan amal. Al-Quran juga mengandung rujukan-rujukan pada sebagian fenomena alam.
4.      Fungsi dan tujuan Al-Qur’an
Al-Quran sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Menurut Dr. M. Quraish Shihab dalam “wawasan Al-Qur’an menyebutkan delapan tujuan diturunkannya Al-Qur’an:
a.       Untuk menbersihkan dan menyucikan jiwa dari segala bentuk syirik serta mementapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi tuhan semesta alam.
b.      Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni bahwa umat manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama dalam pengapdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
c.       Untuk menciptakan perstuan dan kesatuan.
d.      Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
e.       Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup,serta pemerasan manusia atas manusia dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
f.       Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih sayang.
g.       Untuk memberikan jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
h.      Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan panduan dan panduan Nur Ilahi.
Berikut adalah fungsi al-quran menurut nama-namanya:
a.       Al-huda (petunjuk). Dalam al-quran terdapat 3 kategori tentang posisi al-quran sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi manusia secara umum. Kedua, al-quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang beriman.
b.      Al-furqan (pemisah). Dalam al-quran dikatakan bahwa ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan batil.
c.       Asy-syifa (obat). Al-quran dikatakan berfungsi sebagai obat bagi penyakit-penyakit dalam dada. Yang dimaksud penyakit dalam dada adalah penyakit-penyakit psikologis.
d.      Al-mauizhah (nasihat). Al-quran berfungsi sebagai nasihat orang-orang yang bertakwa.
C.    Hadits sebagai sumber hukum Islam
Umat Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Dan  tidak boleh seorang muslim hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari kedua sumber Islam tersebut. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap. Umat Islam tidak mungkin dapat memahami tentang syari’at Islam dengan benar sesuai  dengan tanpa Al-Qur’an dan Hadits. Banyak dari ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti. Baik itu dalam hal perintah ataupun larangan. Al-Syatibiy dalam kaitan ini mengajukan tiga argumen. Pertama, sunnah merupakan penjabaran dari Al-Qur’an. Secara rasional, sunnah sebagai penjabaran (bayan) harus menempati posisi lebih rendah dari yang dijabarkan (mubayyan) yakni Al-Qur’an. Apabila Al-Qur’an sebagai mubayyan tidak ada, maka hadits sebagai bayyan tidak diperlukan. Akan tetapi jika tidak ada bayyan, maka mubayyan tidak hilang. Kedua, Al-Qur’an bersifat qat’iy al-subut, sedangkan sunnah bersifat zanniy al-subut.  Ketiga, secara tekstual terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan kedudukan sunnah setelah Al-Qur’an seprti hadits yang sangat populer mengenai pengutusan Mu’az Ibn Jabal menjadi hakim di Yaman. Semuanya menunjuka subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap Al-Qur’an[6].
Berikut uraian sedikit tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam:
1.      Dalil Al-Qur’an
Banyak dari ayat Al-Qur’an yangmenerangkan tentang  kewajiban untuk dapat mempercayai dan menerima apa saja yang telah disampaikan oleh Rasul kepada umat beliau untuk dijadikan sebuah pedoman hidup. Seperti ayat:



Selain Allah SWT memerintahkan agar umatnya percaya kepada Rasul juga dapat menaati semua perintah atau peraturan yang telah ditetapkan atau dibawa oleh beliau. Taat kepada Rasul sama denga taat kepada Allah. Sebagaimana firman Allah QS. Al- ‘Imran:32 yang berbunyi:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Artinya: “"Katakanlah: 'Taatilah Allah dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang kafir'." – (QS. Al- ‘Imran 3:32)
Dari banyaknya ayat Al-Qur’an ini membuktikan bahwa dimana setiap ada perintah taat kepada Allah, pasti ada perintah taat kepada Rasul. Demikian pula mengenai ancaman. Ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dalam penetapan untuk taat kepada semua yang diperintah Rasulullah SAW.
2.      Dalil al-hadits
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup, disamping Al-Qur;an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:


Masih banyak lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang pedoman hidup maupunpenetapan hukum. Hadits-hadits tersebut menunjukkan terhadap kita bahwa berpegang teguh kepada hadits sebagai pedoman hidup iitu wajib, sebagaimana wajib pada Al-Qur’an.
3.      Kesepakatan ulama (ijma’)
Banyak peristiwa yang menunjukan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a.       Ketika abu bakar di baiat menjadi kholifah, ia pernahberkata “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
b.      Saat umar berada di hajar aswad ia berkata: “saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu”.
c.       Diceritakan dari Sa’i bin Musayyab bahwa ‘usman bin ‘affan berkata: ”saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sholat sebagaimana Sholatnya Rasulullah[7]
Untuk mengukuhkan validitas sunnah sebagai otoritatif hukum Islam. Al-syafi’i mengajukan analisis terhadap kata al-hikmah dalam Al-Qur’an. Dalam banyak Al-Qur’an, kata tersebut selalu bergandengan dengan kata al-kitab (Al-Qur’an)[8].
Namun al-syafii menyipulkan bahwa yang dimaksud al-kitab adalah Al-Qur’an, sedangkan yang dimaksud al-hikmah adalah sunnah atau al-hadits. Dalam sejarah tercatat, ada sekelompo kecil umat Islam yang menolak adanya sunnah atau hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam. Dikenal sebagai inkar al-sunnah dan munkir al-sunnah. Adanya kelompok tersebut diketahui melalui tulisan al-syafi’i yang dikelompokkan dalam tiga golongan:
a.       Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan
b.      Golongan yang menolak sunnah kecuali jika sunnah itu memiliki kesamaan denga petunjuk Al-Qur’an
c.       Golngan yang menolak sunnah yang berstatus ahad[9]
Hadits atau sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya untuk kaitannya dalam hal iadah, akan tetapi juga dalam masalah masyarakat sosial. Eksistensi sunnah atau hadits dapat sumber hukum Islam dapat dilihat dari beberapa argumen Al-Qur’an, ijma’  maupun argumen rasional.
Beberapa implikasi pada perkembangan hukum Islam. Kosep sunnah ternyata mengalami proses yang cukup panjang sebelum di identikkan dengan istilah hadits. Proses tersebut disimpulkan dengan baik oleh Fazlur Rahman sebagai berikut:
that the sunnah-content left bythe prophet was not very large in quantity and that it was not something meant tobe absolutely specific; that the concept sunnah after the time of the propher himself but also the interpretation of the prophetic sunnah; that the “sunnah” in this last sense is co-extensive with the ijma’ of the community, which is essentially an ever-expanding process;and finally; that after the mass-scale hadith movement the organic relationship between the sunnah, ijtihad, and ijma’ was destroyed[10]
Artinya:
Bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak bayak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak, bahwa konsep sunnah setelah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tetapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut, bahwa sunnah dalam pengertian terakhir ini sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus, dan yang terkhir sekali bahwa setelah gerakan pemurnian hadits besar-besaran, hubungan organis diantara sunnah, ijtihad dan ijma’ menjadi rusak.
Ketika timbul gerakan hadits pada paruh kedua abad hijriyah sunnah diekspresikan sebagai hadits, sehingga pada tahap berikutnya hadits identik dengan sunnah. Namun jalaluddin Rahmat membantah bahwa yang pertama kali beredar dikalangan umat Islam untuk menunjuk pada Nabi  adalah hadits bukanlah sunnah.
Kondisi kemudian berubah setelah dua khalifah mengadakan gerakan “penghilangan” hadits yang kemudian melahirkan keenggangan para sahabat menuliskan hadits. Ini mengakibatkan hilangnya sebagian besar hadits dan adanya kesempatan untuk pealsuan hadits yang mengakibatkan merebaknya periwayatan dalam makna (riwayat bi al ma’na). Dan karena orang hanya menerima hadits lewat lisan, maka ketika menyampaikannyapun hanya menyampaikan maknanya, sehingga dalam periwayatan hadits dapat berubah-ubah. Mengingat makna redaksi hadits itu berkembang sesuai orang yang meriwayatkannya. Dan inilah yang menimbulkan banyaknya perbedaan pendapat dalam penafsiran hadits. Kemudian memunculkan ra’y atau oleh Rahman diidentifikasi sebagai sunnah.  yangmana orang lebih cenderung mencari petunjuk pada ra’y karena hilangnya sejumlah hadits akibat perbedaan pendapat.
Ketika terjadi suasana yang tidak ada acuan universal, maka munculah gerakan massif untuk membawa konsep sunnah kedalam konsep hadits. hadits -hadits kemudian dihidupkan kembali, namun upaya ini mengalami kesulitan yang besar  menyangkut pengujian hadits yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya yang kemudian dirumuskan kaidah-kaidah kesahihan hadits (‘ulum al-hadits).
Dengan demikian jika ada pernyataan mengenai hadits nabi telah ada sejak awal perkembangan Islam itu adalah sebuah kenyatan yang tidak dapat diragukan lagi dan mematahkan pernyataan bahwa hadits adalah produk belakangan. Perkembangan hadits berjalan pararel dengan praktek para sahabat dan umat. Dalam hal ini hadits mengalami tahapan yang panjang sebelum ia ditetapkan sebagai sentral keputusan hukum Islam. Memang dulu pada masa-masa awal sunnah menjadi standar bagi manifestasi sunnah ideal Nabi, akan tetapi pada masa al-Syafi’iy dan seterusnya haditslah yang kemudian menjadi manifestasi teladan Nabi.
D.    Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad memiliki arti kesungguhan, yaitu mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Ijtihad dari sudut istilah berarti menggunakan seluruh potensi nalar secara maksimal dan optimal untuk meng-istinbath suatu hukum agama yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, pada waktu tertentu untuk merumuskan kepastian hukum mengenai suatu perkara yang tidak ada status hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan tetap berpedoman pada dua sumber utama.
Dengan demikian, ijtihad bukan berarti penalaran bebas dalam menggali hukum satu peristiwa yang dilakukan oleh mujtahid, melainkan tetap berdasar pada Al-Qur’an dan sunnah. Walaupun ijtihad diperbolehkan untuk dilakukan oleh mujtahid (orang yang berijtihad) yang memenuhi syarat, namun tidak berarti bahwa ijtihad dapat dilakukan dalam semua bidang. Ijtihad memiliki ruang lingkup tertentu.
Syaikh Muhammad Salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke dalam dua bagian:
a.       Permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an atau hadist Nabi.
b.      Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak begitu jelas maksudnya yang mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung lebih dari satu sehingga perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk mengetahui makna-makna yang sesungguhnya yang dimaksud.[11]
2.      Macam-macam Ijtihad
a.       Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di kalangan para mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah SAW. Ahli ushul fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syariat mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran dan sunnah) maka para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu peristiwa dan jika disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain, kesepakatan itulah yang disebut ijmak.
Ijmak merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi kuat dalm menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas sebagai sumber hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam. Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis kekuatan ijmak sebagai sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-laki (jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang yang meninggal dunia yang dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah (orang yang meninggal) untuk menerima seperenam dari harta warisan atau harta peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.
Dalam transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan barang yang baru akan dibuat yang seharusnya tidak boleh,karena dinilai sama seperti halnya membeli barang yang tidak ada, merupakan contoh hukum yang bersumber dari hasil ijmak sahabat (Hanafi, 1995: 61) Penggunaan ijmak sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama beliau hidup, setiap peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijmak yang memiliki kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan pada sejumlah argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-nisa’ yang didalamnya terdapat anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya. Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas mencakup urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri, legislative, dan lain-lain) dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti, dan ulama. Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan maka wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti, dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-Nya dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83 ):
وَإِذَا جَآءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الاٌّمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى الاٌّمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
 الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَـنَ إِلاَّ قَلِيلاً
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS. An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan ijmak sebagai sumber hukum Islam adalah sejumlah hadis Nabi SAW yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Majah, yang mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat kekeliruan.” Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para mujtahid memiliki kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
b.      Qiyas
Secara harfiah berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun menurut pengertian para ahli fikih, qiyas adalah menetapkan hukum tentang sesuatu yang belum ada nash atau dalilnya yang tegas, dengan sesuatu hukum yang sudah ada nash atau dalilnya yang didasarkan atas persamaan illat antara keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya minuman bir yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar yang ada hukumnya di dalam Al-Quran. Menyamakan atau menganalogikan bir dengan khamar ini didasarkan pada adanya persamaan illat antara keduanya, yaitu memabukkan.
c.       Al-mashlahat al-mursalah
Secara harfiah berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang banyak. Adapun menurut para ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-mursalah adalah sesuatu yang didalamnya mengandung kebaikan bagi masyarakat, sehingga walaupun pada masa lalu hal tersebut tidak diberlakukan, namun dalam keadaan masyarakat yang sudah makin berkembang, keadaan tersebut dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan Al-quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang perlu dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit karena meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran sering terjadi.
d.      Urf
Secara harfiah berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah dibiasakan. Adapun menurut para ahli hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu yang berlaku dimasyarakat atau tradisi yang mengandung nilai-nilai kebaikan bagi masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan hari raya yang pada zaman sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan, maka tetap dilanjutkan.
e.       Istihsan
Secara harfiah berarti memandang sesuatu sebagai yang baik. Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang dipandang manusia pada umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada sabda Rasulullah SAW : Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah dipandang sebagai hal yang baik.”
f.       Qaul al-shahabat
Secara harfiah berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum, Qaul al-shahabat adalah pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para sahabat yang sejalan denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-shahabat sebagai dasar hukum, mengingat para sahabat selain sebagai orang yang dekat, bergaul dan ikut berjuang dengan Rasulullah SAW, juga memang memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya yang layak untuk dijadikan bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan ajaran Islam pada masa selanjutnya.
g.      Syar’un man qablana
Secara harfiah berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang lazim, Syar’un man qablana adlah ajaran yang terdapat didalam agama yang diturunkan Tuhan sebelum Islam yang terdapat di dalam kitab Zabur, Taurat, Injil yang masih asli yang tidak bertentangan dan masih sesuai dengan kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat yang ditinggalkan Nabi Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian terhadap kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh anak, berbuat zina, memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan, menjadi saksi palsu, dan larangan bersikap sombong. Ajaran yang dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat 23 sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman Nabi Musa itu, masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena masih dianggap cocok dan dibutuhkan untuk zaman sekarang dan yang akan datang. [12]

 IV.            PENUTUP
A.    Kesimpulan
     Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits dan ijtihad.  Al-qur’n sebagai sumber hukum Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua kehidupan yang ada di alam, perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang murni, mengenai syari’at dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan Hadits itu sebagai sumber ajaran islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan kita untuk mempercayai dan menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untu dijadikan sebagai pedoman hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat pertnyataan bahwa berpedoman pada hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan Rasulullah berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an sebagai sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran karena melalui konsep ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan hukumnya Dari pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran islam sangat penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng dari salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang fatal.

    V.            Daftar Pustaka
‘Abd Az-‘azhim, Az-Zarqani Muhammad. Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I hlm 106.
Amin, Muhammad Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013
Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011
Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011
Muhaimin, dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: kencana, 2012
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000
Nata, Abuddin. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana 2011 
Suparta, Munzier. Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Uhbiyati, Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013

















 VI.            BIODATA PEMAKALAH
1.      Nama                                :           Ahmad Maulidin
NIM                                  :           133711016
Jurusan/Prodi                  :           Tadris Kimia
TTL                                  :           Kendal, 13 Agustus 1994
Tempat Tugas                 :           Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini          :           S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat                              :           Jambearum 2/1 patebon, Kendal, 51251   
No.Hp                               :           085726829670
2.      Nama                                :           Fiki Himmatul Aliyah
NIM                                  :           133711017
Jurusan/Prodi                  :           Tadris Kimia
TTL                                  :           Pekalongan 18 maret 1995
Tempat Tugas                 :           Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini          :           S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat                              :           Kebonrejopucang, Karangdadap, Pekalongan
No.Hp                               :           085642907450
Email                                :           fikihimmatul_aliyah@yahoo.com
Twetter                             :           @fikihimatul_A
3.      Nama                                :           Ranum Saputri
NIM                                  :           13371018
Jurusan/Prodi                  :           Tadris Kimia
TTL                                  :           Grobogan, 20 Mei 1995
Tempat Tugas                 :           Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini          :           S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat                              :           Rt/0 Rw/4 Gubug, Grobogan, Jateng
No.Hp                               :           085713075419
Email                                :           ranum.saputri@gmail.com
Twetter                             :           @ranum_saputri
4.      Nama                                :           Luthfiyatu dzikriyah
NIM                                  :           133711020
Jurusan/Prodi                  :           Tadris Kimia
TTL                                  :           Keendal, 19 April 1996
Tempat Tugas                 :           Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini          :           S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat                              :           Bulak 2/III Rowosari, Kendal
No.Hp                               :           085641869641
Email                                :           luthfiyatu.dzikriyah@gmail.com
Twetter                             :           @dzikri_luthfi          
5.      Nama                                :           Aliefa Sana
NIM                                  :           133711021
Jurusan/Prodi                  :           Tadris Kimia
TTL                                  :           Semarang, 19 Febuari 1995
Tempat Tugas                 :           Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini          :           S-1 IAIN Walisongo Semarang
Alamat                              :           tugu rejo A7 Rt/ 04 Rw 01, Semarang, Jateng
No.Hp                               :           085727676807
Email                                :           sana.aliefa@yahoo.com       
Twetter                             :           @efa_sana




[1] Nur Uhbiyati, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013, halaman 25
[2] Muhaimin, dkk. Studi Islam dalam ragam dimensi dan pendekatan, Jakarta: kencana, 2012,  halaman 81
[3]Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011 halaman 169
[4] Muhammad ‘abd az-‘azhim az-zarqani, Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I hlm 106.
[5] Muhammad Amin Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013 halaman

[6] Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah, Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 80
[7] Drs. Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 56
[8] Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000,  hlm 82
[9]  Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 84
[10] Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah. Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 119
[11] Rois Mahfud, Sumber Ajaran Islam, Palangka raya: Erlangga,  2011, halaman 117-118.
[12] Abuddin Nata, Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana , 2011.  Halaman 43-45

Diposting oleh Ranum on Sabtu, 05 April 2014

0 komentar

Posting Komentar

Entri Populer

Free Website templatesfreethemes4all.comLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Blog templatesFree Web Templates