MAKALAH
SUMBER-SUMBER
AJARAN ISLAM
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah
Pengantar Studi Islam
yang diampu oleh: M. Rikza Chamami, MSI
Ahmad
Maulidin 133711016
Fiki
himmatul Aliyah 133711017
Ranum
saputri 133711018
Luthfiyatu dzikriyah 133711020
Aliefa
sana 133711021
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
TAHUN
2013
I.
PENDAHULUAN
Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru
dunia dengan kecepatan yang menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu
diketahui bahwa Dinul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu
agama yang sekaligus menjadi pandangan atau pedoman hidup. Banyak sumber-sumber
ajaran Islam yang digunakan mulai zaman muncul pertama kalinya Islam pada masa
rasulullah sampai pada zaman modern sekarang ini. Sumber-sumber yang berasal
dari agama Islam merupakan sumber ajaran yang sudah dibuktikan kebenarannya yaitu
bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, sumber-sumber ajaran Islam merupakan
sumber ajaran yang sangat luas dalam mengatasi berbagai permasalahan seperti
bidang akhidah, sosial, ekonomi, sains, teknologi dan sebagainya.
Islam sangat
mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan, terutama yang bersumber
dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas dan juga ijtihad.
Begitu sempurna dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam. Namun permasalahan
disini adalah banyak umat Islam yang belum mengetahui betapa luas dan
lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam guna mendukung umat Islam untuk maju
dalam bidang pengetahuan.
II.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
saja sumber-sumber ajaran Islam?
2. Bagaimana
Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam?
3. Bagaimana
Hadits sebagai sumber hukum kedua ajaran Islam?
4. Bagaimana
Ijtihad sebagai sumber hukum ajaran Islam setelah Al-Qur’an dan Hadits?
III.
PEMBAHASAN
A. Macam-macam sumber ajaran Islam
Sumber adalah tempat pengambilan,
rujukan atau acuan dalam penyelenggaraan ajaran Islam, karena itulah sumber
memiliki peranan yang sangat penting bagi pelaksanaan ajaran Islam. Dari sumber
inilah umat Islam dapat memiliki pedoman-pedoman tertentu untuk melaksanakan
proses ajaran Islam, tanpa adanya suatu sumber maka umat Islam akan
terombang-ambing dalam menghadapi ideologi dan bisa jadi akan berahir pada
kesesatan atau kenistaan.[1]
Dalam pembahasan disini akan diuraikan
macam-macam sumber ajaran Islam yang diantaranya meliputi:
1. Al-Quran
2. Sunah
3. Ijtihad
B. Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam
1. Pengertian
Al-Qur’an
Secara etimologi Al-Qur’an berasal dari
kata “qara’a, yaqra’u, qira’atan, qur’anan” yang berarti mengumpulkan dan
menghimpun huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian ke bagian lain secara
teratur.[2]
Ada juga sumber lain mengatakan bahwa Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan
sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yng sungguh tepat, karena tiada
satu bacaanpun sejak anusia mengenl baca tulis yang dapat menandingi Al-Qur’an
al-Karim, secara terminologi Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan Tuhan
kepada Nabi Muhammad SAW. Yang diampaikan lewat malaikat jibril, yang
dikomunikasikan dengn bahasa arab, harus dipercayai tanpa syarat dan menjadi
pedoman bagi para pengikutnya yaitu umat Islam diseluruh dunia.[3]
Pengertian Al-Qur’an dari segi
terminologinya dapat dipahami dari pandangan beberapa ulama, bahwa:
a. Muhammad
Salim Muhsin dalam bukunya “Tarikh Al-Qur’an al-Karim” menyatakan bahwa Al-Qur’an
adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW. Yang ditulis
dalam mushaf-mushf dan dinukilkan/ diriwayatkan kepada kita dengan jalan
mutawatir dan membacanya dipandang ibadah serta sebagai penentang (bagi yang tidak
percaya) ataupun surat terpendek.
b. Abdul
Wahab Khalaf mendefinisikan Al-Qur’an sebagai firman Allah SWT yang diturunkan
melalui Roh al-Amin (Jibril) kepada nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa arab,
isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujah kerasulannya, undang-undang bagi
seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam
membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al-Fatihah dan
diakhiri surat an-Nas, yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir.
c. Muhammad
abduh mendefinisikan Al-Qur’an sbagai kalam mulia yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada nabi yang paling smpurna (Muhammad SAW) ajarannya mencakup keseluruhan
ilmu pengetahuan, ia merupakan sumber
yang mulia yang esensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berjiwa suci
daan berakal cerdas.
2. Asbabun
nuzul Al-Qur’an
a. Pengertian
asbabun nuzul
Ungkapan asbabun nuzul merupakan bentuk idhafah dari
kata asbab dan nuzul. Secara etimologi, asbabun nuzul adalah sebab-sebab yang
melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Namun kata asbabun nuzul hanya
dipergunakan khusus untuk Al-Qur’an. Para ulama berpendapat bahwa ketika
memaknai kata nuzul, inzal, dan tanzil yang terdapat pada ayat Al-Qur’an, ada yang
memaknai idhar yaitu melahirkan Al-Qur’an. Ada juga yang memanai bahwa Allah
SWT mengajarkannya kepada malaikat jibril baik megenai bacaannya maupun
pemahamannya lalu jibril menyampaikannya kepada nabi Muhammad SAW yang ada di
bumi.
Menurut az-zarqani asbabun nuzul adalah khusus atau
sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya Al-Qur’an sebagai
penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.[4]
b. Urgensi
Asbabun Nuzul
Mayoritas ulama sepakat bahwa konteks kesejarahan
yang terakumulasi dalam riwayat-riwayat asbabun nuzul merupakan suatu hal yang
signifikan untuk memahami pesan-pesan Al-Qur’an. Bahkan al-wahidi menyatakan
ketidakmungkinan untuk menginterpretasikan Al-Qur’an tanpa mempertimbangkan
aspek kisah dan asbabun nuzul.
Dalam uraian yang lebih rinci, Az-Zarqani mengemukakan
urgensi asbabun nuzul dalam memahami Al-Qur’an sebagai berikut:
1) Membantu
dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan-pesan
ayat Al-Qur’an.
2) Mengatasi
keraguan ayat yang diduga mengandung pengertian umum.
3) Mengkhususkan
hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, bagi ulama yang berpendapat bahwa
yang menjadi pegangan adalah sebab yang bersifat khusus dan bukan lafazh yang
bersifat umum.
4) Mengidentifikasikan
pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun.
5) Memudahkan
untuk menghafalkan dan memahami ayat serta untuk memantapkan wahyu ke dalam
hati orang yang mendengarnya
Taufiq Adnan Amal dan Syamsul Rizal panggabean
menyatakan bahwa pemahaman terhadap konteks kesejarahn pra-qur’an dan pada masa
Al-Qur’an menjanjikan beberapa manfaat praktis, yaitu
1) Pemahaman
itu memudahkan kita mengidentifikasi gejala-gejala moral dan sosial pada
masyarakat Arab saat itu, sikap Al-Qur’an terhadapnya, dan cara Al-Qur’an
memodifikasi atau mentransformasi gejala itu hingga sejalan dengan pandangan
dunia Al-Qur’an.
2) Kesemuanya
ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam dalam mengidentifikasi dan
menangani problem-problem yang mereka hadapi.
3) Pemahaman
tentang konteks kesejarahan pra-qur’an dan masa qur’an dapat menghindarkan kita
dari praktik-praktik pemaksaan prakonsep dalam penafsiran.
c. Macam-macam
asbabun nuzul
1) Dilihat
dari segi sudut pandang redaksi-redaksi yang dipergunakan dalam riwayat asbabun
nuzul. Ada dua jenis redaksi yang dipergunakan oleh perawi dalam mengungkapkan
riwayat asbabun nuzul yaitu:
Ø Sharih
(visionable/jelas). Artinya riwayat yang sudah jelas menunjukkan asbabun nuzul
dan tidak mungkin pula menunjukkan yang lainnya. Contoh riwayat asbabun nuzul
yang menggunakan redaksi sharih adalah sebuah riwayat yang diawakan oleh Jabir
bahwa orang-orang yahudi berkata, “apabila suami mendatangi “qubul” istrinya
dari belakang, anaknya yang lahir akan juling”. Maka turunlah ayat
نساءكم حرث ئكم فأ تو حر ثكم انّى شئتم
Artinya:
“istri-istrimu
adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam maka datangilah tanah bercocok
tanammu itu bagaimana saja kamu hendaki.” (Q.S Al-Baqarah : 223)
Ø Muhtamilah (kemungkinan). Artinya riwayat yang belum
jelas menunjukkan asbabun nuzul dan masih memungkinkan pula menunjukkan arti
lain.
2) Dilihat
dari sudut pandang berbilangnya asbabun nuzul untuk satu ayat atau berbilangnya
ayat untuk asbabun nuzul.
a) Berbilangnya
asbabun nuzul untuk satu ayat
Pada
kenyataannya tidak setiap ayat memiliki riwayat asbabun nuzul dalam satu versi.
Ada kalanya satu ayat memiliki beberapa versi riwayat asbabun nuzul. Bentuk
variasi itu terkadang dalam redaksinya dan terkadang pula dalam kualitasnya.
Untuk mengatasi variasi riwayat asbabu nuzul dalam satu ayat dari sisi redaksi,
para ulama’ mengemukakan cara-cara berikut.
Ø Tidak
mempermasalahkannya
Ø Mengambil
versi riwayat asbabun nuzul yang menggunakan sharih
Ø Melakukan
studi selektif (tarjih)
b) Variasi
ayat untuk satu sebab
Terkadang
suatu kejadian menjadi sebab bagi turunnya dua ayat atau lebih.
d. Tahapan
turunnya Al-Qur’an
Turunnya Al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang
sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi. Turunnya Al-Qur’an
yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam
tingkat tinggi yang terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan nabi Muhammad
SAW dan umatnya dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang
dikeluarkan bagi manusia. Allah menurunkan kepada manusia melalui 3 tahap yaitu:
1) Al-Qur’an
diturunkan Allah dari Lauhul Mahfudz
Al-arqani tidak menyinggung lebih jauh
tentang kapan penurunan Al-Qur’an di Lauhul Mahfudz ini. Beliau hanya
menyatakan tidak ada yang tahu persis kapan Al-Qur’an diturunkan di Lauhul
Mahfudz kecuali Allah sendiri.
2) Dari
Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza
Yaitu langit yang pertama yang tampak
ketika dilihat di dunia ini namun tidak diketahui letak persisnya. Adapun
jumlahnya adalah semuanya pada waktu Lailatul Qadr. Namun tanggalnya tidak diketahui,
dan pada bulan Ramadhan.
Al-Qurtubi telah menukil dari Muqtil bin
Hayyan riwayat tentang kesepakatan bahwa turunnya Al-Qur’an sekaligus dari
Lauhul Mahfudz ke Baitul ‘Izza di langit di dunia. Sebetulnya tidak hanya Al-Qur’an
saja yang diturunkan pada bulan Ramadhan, tetapi ada juga
a) Taurat : 6 Ramadhan
b) Suhuf
Ibrahim : 1 Ramadhan
c) Injil : 13
Ramadhan
d) Zabur
: 12
Ramadhan
3) Dari
Baitul ‘Izza ke Rasulullah
Tahapan ketiga atau yang terakhir adalah
Al-Qur’an diturunkan dari Baitul ‘Izza kepada Nabi Muhammad SAW dengan
perantara malaikat jibril. Penurunannya tidak secara langsung sekaligus, namun
diangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun berdasarkan kebutuhan, peristiwa
atau bahkan melalui permintaan malaikat jibril. Adapun kitab-kitab lain seperti
tauraut, zabur dan injil diturunkan oleh Allah SWT dengan cara sekaligus tidak
secara berangsur-angsur.[5]
3. Isi
dan pesan-pesan Al-Qur’an
Alqur’an diturunkan kepada nabi Muhammad
kurang lebih selama 23 tahun, dalam dua fase yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah
(Makiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi Al-Qur’an
terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf. Proporsi
masing-masing fase tersebuut adalah 86 surat untuk ayat-ayat Makiyah dan 28
surat untuk ayat-ayat Madaniyah.
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an itu, pada
dasarnya mengandung pesan-pesa sebagai berikut; masalah tauhid, termasuk
didalamnya masalah kepercayaaan pada yang gaib; masalah ibadah, yaitu
egiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan
didalam hati dan jiwa; masalah janji dan
ancaman yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan
sebaliknya ancaman siksa bagi mereka
yang berbuat jahat; jalan menuju kebahagiaan dunia akhirat, berupa
ketentuan-ketentuan yang hendaknya dipenuhi untuk mencapai keridhaan Allah SWT;
riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-orang terdahulu baik sejarah
bangsa-bangsa, tokoh-tokoh maupun Nabi dan Rosul.
Selanjutnya Abdul Wahab Khalaf lebih
memerinci pokok-pokok kandungan Al-Qur’an ke dalam 3 ktegori, yaitu:
a. Masalah
kepercayaan (I’tiqadiyah), yang berhubungan dengan rukun iman kepada Allah,
malaikat, kitabullah, rasulullah, hari kebangkitan dan taqdir.
b. Masalah
etika (khuluqiyah) berkaitan dengan hal-hal yang dijadikan perhisan bagi
seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.
c. Masalah
perbuatan dan ucapan (‘amaliyah) yang
terbagi dalam dua macam yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah berkaitan dengan rukun Islam, nazar, sumpah
dan ibadah-ibadah yang lain yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT.
Mu’amalah berkaitan dengan akad, pembelanjaan, hukuman, jual-beli dan lainnnya
yang mengtur hubungan manusia dengan sesama.
Ada dua
segi pembahasan isi/kandungan Al-Qur’an, yaitu dimensi keagamaan dan dimensi
keilmuan.
a.
Dimensi keagamaan
Al-Qur’an
memberikan petunjuk dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan. Pertama, akidah
dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia, yang tersimpul dalam keimanan
akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan;
kedua, mengenai syariat dan hukum,dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum
yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya;
ketiga, mengenai akhlak yang murni, dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan
dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya baik secara
individual maupun kolektif
Menurut
Prof. Dr. Mahmud Syaltut dalam “al-Islam wa al-syariah” bahwa Al-Qur’an
mengandung berbagai persoalan-persoalan :
1)
Akidah yang wajib dimani.
2)
Budi pekerti yang dapat membersihkan jiwa,
membentukpribadi dan masyarakat yang baik
3)
Petunjuk dan bimbingan untuk menyelidiki dan
mentadaburi tentang rahasia-rahasia langit dan bumi.
4)
Peringatan dan ancaman
5)
Hukum-hukum yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
Sedangkan
menurut Masyfuk Zuhdi bahwa isi atau kandungan ajaran Al-Qur’an pada hakekatnya
mengandung lima prinsip, yaitu:
1)
Tauhid
Sekalipun
Nabi Adam AS sebagai manusia pertama dan Nabi pertama adalah seorang
monotheisme/muwahhid dan mengajarkan tauhid kepada turunannya, namun
kenyataannya tidak sedikit manusia keturunannya itu yang menyimpang dari ajaran
tauhid. Untuk meluruskan kepercayaan mereka yang menyimpang dari Tuhan dan
untuk membimbing mereka ke arah yang lurus dan diridlai Tuhan, maka diutuslah
para Nabi/Rasul secara silih berganti mulai Nabi Adam sampai Nabi Muhammad
sebagai nabi penutup.
Sebelum
kelahiran Nabi Muhammad (pra Islam), keadaan manusia pada umumnya telah
menyimpang dari ajaran tauhid dan ajaran-ajaranlainnya dari para nabi dan rasul
sebelumnya, sekalipun sebagian mereka ada pula yang masih mengaku percaya pada
keesaan Tuhan, tetapi sebenarnya tauhidnya sudah tidak murni lagi. Sebab Tuhan
dianggap tidak tunggal sepenuhnya, melainkan ia terdiri dari beberapa oknum,
misalanya doktrin tri murti atau trinitas dari agama Hindu dan Kristen.
2)
Janji dan ancaman tuhan
Tuhan
menjanjikan kepada setiap orang yang beriman dan selalu mengikuti semua
petunjuk-Nya akan mendapatkan kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat.
Sebaliknya Tuhan akan mengancam kepada siapa saja yang ingkar kepada tuhan dan
memusuhi nabi/rasul-Nya serta melanggar perintah-perintah dan
larangan-laranga-Nya, akan mendapat kesengsaraan hidup di dunia maupun akhirat.
3)
Ibadah
Tujuan
hidup manusia didunia ini adalah untuk meribaddah kepada Tuhan.pengertian
ibadah menurut Islam adalah cukup luas,sebab tidak hanya berbatas
padaslat,puasa, haji dan semacamnya. Tetapi semua aktifitas yang dilakukan
manusia denga motivasi niat yang baik seprti untuk mencari ridlo Allah, semuanya
dipandang ibadah.
Ibadah
bagi manusia adalah berfungsi sebagai manifestasi manusia bersyukur kepada
tuhan pencipta atas segala nikmat dan karunia. Dan juga berfungsi sebagai
relisasi dan konsekwensi manusia atas kepercayaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
4)
Jalan dan cara mencapai kebahagiaan
Setiap
orang yang breagama pasti bercita-cita ingin mendapatkan kebahagiaan hidup di
dunia maupun akhirat. Untuk bisa mencapai cita-citanya, Tuhan dalam Al-Qur’an
memberikan petunjuk-petunjuk-Nya bahwa manusia harus menempuh jalan yang lurus
dengan cara menghayati dan mematuhi segala aturan agam yang ditetapkan Allah
dan rasul-Nya.
5)
Cerita-cerita/sejarah-sejarah umat manusia sebelum
Nabi Muhammad SAW
Didalam
Al-Qur’an terdapat cerita-cerita tentang para nabi dan umatnya masing-masing.
Cerita-cerita tersebut diungkapkan kembali didalam al-quran dengan maksud agar
dijadikan pelajaran bagi manusia sekarang tentang bagiamna nasib manusia yang
taat kepada tuhan. Disamping itu juga sebagai hiburan bagi Nabi Muhamad dan
umat Islam pada permulaan Islam, agar nabi dan sahabat-sahabatnya tetap
berteguh hati , tidak berkecil hati dalam menghadapi segala macam
hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan yang sama bahkan yang lebih.
Dari
penjelasan diatas dapat dipahami bahwa pada hakikatnya Al-Qur’an adalah kitab
keagamaan, dan bukan suatu kitab atau ensiklopedi ilmu pengetahuan yang
ddidlamnya membahas atau berisitentang teori-teori ilmiah.
b.
Dimensi keilmuan
Al-Qur’an
adalah sumber segala pelajaran dan pengetahuan, didalamnya pembicaraan-pembicaraan
dan kandungan isinya tidak semata-mata terbatas pada bidang-bidang keagamaan,
ia meliputi berbagai aspek hidup dan kehidupan manusia.
Menurut
Dr. Muhammad Ijazul Khatib dari Universitas Damaskus, tak ada yang lebih
menekankan pentingnya sains dari pada kenyataan bahwa: berbeda dengan bagian
legislatif yang hanya 250 ayat saja, sedangkan 750 ayat Al-Qur’an –hampir
seperdelapannya- menegur orang-orang mukmin untuk mempelajari alam semesta,
untuk berfikir, untuk menggunakan penalaran yang sebaik-baiknya, untuk
menjadikan kegiatan ilmiah ini sebagai bagian dari kehidupan umat.
Sekarang
banyak ditemukan orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat Al-Qur’andalam
sorotan ilmiah modern. Dengan tujuan untuk menunjukkan mu’jizat Al-Qur’an dalam
lapangan keilmuan untuk meyakinkan orang-orang non-muslim akan keagungan dan
keunikan Al-Qur’an, dan untuk menjadikan kaum muslimin bangga memiliki kitab
seperti itu.
Pandangan
mengenai Al-Qur’an sebagai sumber ilmu pengetahuan bukanlah merupakan sesuatu
yang baru, karena banyak ulama besar kaum muslimin yang berpandangan demikian.
Dari
keterangan diatas, para ulama berkeyakinan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab
petunjuk bagi kemajuan manusia, dan mencakup apa yang diperlukan manusia dalam
wilayah iman dan amal. Al-Quran juga mengandung rujukan-rujukan pada sebagian
fenomena alam.
4.
Fungsi dan tujuan Al-Qur’an
Al-Quran
sebagai kitab suci umat Islam merupakan kumpulan firman Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat manusia.
Menurut Dr. M. Quraish Shihab dalam “wawasan Al-Qur’an menyebutkan delapan
tujuan diturunkannya Al-Qur’an:
a.
Untuk menbersihkan dan menyucikan jiwa dari segala
bentuk syirik serta mementapkan keyakinan tentang keesaan yang sempurna bagi
tuhan semesta alam.
b.
Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab,
yakni bahwa umat manusia merupakan umat yang seharusnya dapat bekerja sama
dalam pengapdian kepada Allah dan pelaksanaan tugas kekhalifahan.
c.
Untuk menciptakan perstuan dan kesatuan.
d.
Untuk mengajak manusia berfikir dan bekerja sama
dalam bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
e.
Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual,
kebodohan, penyakit dan penderitaan hidup,serta pemerasan manusia atas manusia
dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
f.
Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat
dan kasih sayang.
g.
Untuk memberikan jalan tengah antara falsafah
monopoli kapitalisme dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan
wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
h.
Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna
menciptakan suatu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia dengan
panduan dan panduan Nur Ilahi.
Berikut adalah fungsi
al-quran menurut nama-namanya:
a.
Al-huda (petunjuk). Dalam al-quran terdapat 3
kategori tentang posisi al-quran sebagai petunjuk. Pertama, petunjuk bagi
manusia secara umum. Kedua, al-quran adalah petunjuk bagi orang-orang yang
bertaqwa. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang beriman.
b.
Al-furqan (pemisah). Dalam al-quran dikatakan bahwa
ia adalah ugeran untuk membedakan dan bahkan memisahkan antara yang hak dan
batil.
c.
Asy-syifa (obat). Al-quran dikatakan berfungsi
sebagai obat bagi penyakit-penyakit dalam dada. Yang dimaksud penyakit dalam
dada adalah penyakit-penyakit psikologis.
d.
Al-mauizhah (nasihat). Al-quran berfungsi sebagai
nasihat orang-orang yang bertakwa.
C.
Hadits sebagai sumber hukum Islam
Umat Islam
telah sepakat bahwa hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dan tidak boleh
seorang muslim hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari kedua sumber Islam
tersebut. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum Islam yang tetap.
Umat Islam tidak mungkin dapat memahami tentang syari’at Islam
dengan benar sesuai dengan tanpa Al-Qur’an
dan Hadits. Banyak dari ayat Al-Qur’an yang menerangkan bahwa hadits merupakan
sumber hukum Islam selain Al-Qur’an yang wajib diikuti. Baik itu dalam hal
perintah ataupun larangan. Al-Syatibiy dalam kaitan ini mengajukan tiga
argumen. Pertama, sunnah merupakan penjabaran dari Al-Qur’an. Secara rasional,
sunnah sebagai penjabaran (bayan) harus menempati posisi lebih rendah dari yang
dijabarkan (mubayyan) yakni Al-Qur’an. Apabila Al-Qur’an sebagai mubayyan tidak
ada, maka hadits sebagai bayyan tidak diperlukan. Akan tetapi jika tidak ada
bayyan, maka mubayyan tidak hilang. Kedua, Al-Qur’an bersifat qat’iy al-subut, sedangkan sunnah
bersifat zanniy al-subut. Ketiga, secara
tekstual terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan kedudukan sunnah setelah Al-Qur’an
seprti hadits yang sangat populer mengenai pengutusan Mu’az Ibn Jabal menjadi
hakim di Yaman. Semuanya menunjuka subordinasi sunnah sebagai dalil terhadap Al-Qur’an[6].
Berikut uraian
sedikit tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam:
1.
Dalil Al-Qur’an
Banyak dari
ayat Al-Qur’an yangmenerangkan tentang
kewajiban untuk dapat mempercayai dan menerima apa saja yang telah
disampaikan oleh Rasul kepada umat beliau untuk dijadikan sebuah pedoman hidup.
Seperti ayat:
Selain Allah SWT
memerintahkan agar umatnya percaya kepada Rasul juga dapat menaati semua
perintah atau peraturan
yang telah ditetapkan atau dibawa oleh beliau.
Taat kepada Rasul sama denga taat kepada Allah.
Sebagaimana firman Allah QS. Al- ‘Imran:32 yang berbunyi:
قُلْ
أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
Artinya: “"Katakanlah: 'Taatilah Allah
dan Rasul-Nya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya, Allah tidak menyukai
orang-orang kafir'." – (QS. Al- ‘Imran 3:32)
Dari banyaknya
ayat Al-Qur’an ini membuktikan bahwa dimana setiap ada perintah taat kepada Allah,
pasti ada perintah taat kepada Rasul. Demikian pula mengenai ancaman.
Ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dalam
penetapan untuk taat kepada semua yang diperintah Rasulullah SAW.
2.
Dalil al-hadits
Dalam salah
satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan keharusan menjadikan hadits sebagai
pedoman hidup, disamping Al-Qur;an sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:
Masih banyak
lagi hadits-hadits yang menerangkan tentang pedoman hidup maupunpenetapan hukum. Hadits-hadits tersebut menunjukkan terhadap kita bahwa
berpegang teguh kepada hadits sebagai pedoman hidup iitu wajib, sebagaimana
wajib pada Al-Qur’an.
3.
Kesepakatan ulama (ijma’)
Banyak peristiwa yang menunjukan adanya kesepakatan
menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain:
a.
Ketika abu bakar di baiat menjadi kholifah, ia
pernahberkata “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan/dilaksanakan
oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan
perintahnya”.
b.
Saat umar berada di hajar aswad ia berkata: “saya tahu
bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu,
saya tidak akan menciummu”.
c.
Diceritakan dari Sa’i bin Musayyab bahwa ‘usman bin
‘affan berkata: ”saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah, saya makan
sebagaimana makannya Rasulullah dan saya sholat sebagaimana Sholatnya
Rasulullah[7]
Untuk
mengukuhkan validitas sunnah sebagai otoritatif hukum Islam. Al-syafi’i
mengajukan analisis terhadap kata al-hikmah dalam Al-Qur’an. Dalam banyak Al-Qur’an,
kata tersebut selalu bergandengan dengan kata al-kitab (Al-Qur’an)[8].
Namun al-syafi’i menyipulkan bahwa yang dimaksud al-kitab adalah Al-Qur’an,
sedangkan yang dimaksud al-hikmah adalah sunnah atau al-hadits.
Dalam sejarah tercatat, ada sekelompo kecil umat Islam
yang menolak adanya sunnah atau hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam.
Dikenal sebagai inkar al-sunnah dan munkir al-sunnah.
Adanya kelompok tersebut diketahui melalui tulisan
al-syafi’i yang
dikelompokkan dalam tiga golongan:
a.
Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan
b.
Golongan yang menolak sunnah kecuali jika sunnah itu
memiliki kesamaan denga petunjuk Al-Qur’an
Hadits atau
sunnah sebagai sumber hukum Islam tidak hanya untuk kaitannya dalam hal iadah,
akan tetapi juga dalam masalah masyarakat sosial.
Eksistensi sunnah atau hadits dapat sumber hukum Islam
dapat dilihat dari beberapa argumen Al-Qur’an, ijma’ maupun argumen rasional.
Beberapa
implikasi pada perkembangan hukum Islam. Kosep sunnah ternyata mengalami proses yang cukup panjang
sebelum di identikkan dengan istilah hadits. Proses tersebut disimpulkan dengan
baik oleh Fazlur Rahman sebagai berikut:
“that the sunnah-content left bythe prophet was not very
large in quantity and that it was not something meant tobe absolutely specific;
that the concept sunnah after the time of the propher himself but also the
interpretation of the prophetic sunnah; that the “sunnah” in this last sense is
co-extensive with the ijma’ of the community, which is essentially an ever-expanding
process;and finally; that after the mass-scale hadith movement the organic
relationship between the sunnah, ijtihad, and ijma’ was destroyed”[10]
Artinya:
Bahwa kandungan sunnah yang bersumber
dari Nabi tidak bayak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara
mutlak, bahwa konsep sunnah setelah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi
tetapi juga penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut, bahwa sunnah
dalam pengertian terakhir ini sama luasnya dengan ijma’ yang pada dasarnya
merupakan sebuah proses yang semakin meluas secara terus-menerus, dan yang
terkhir sekali bahwa setelah gerakan pemurnian hadits besar-besaran, hubungan
organis diantara sunnah, ijtihad dan ijma’ menjadi rusak.
Ketika timbul
gerakan hadits pada paruh kedua abad hijriyah sunnah diekspresikan sebagai
hadits, sehingga pada tahap berikutnya hadits identik dengan sunnah. Namun
jalaluddin Rahmat membantah bahwa yang pertama kali beredar dikalangan umat Islam
untuk menunjuk pada Nabi adalah hadits
bukanlah sunnah.
Kondisi
kemudian berubah setelah dua khalifah mengadakan gerakan “penghilangan”
hadits yang kemudian melahirkan keenggangan para sahabat
menuliskan hadits. Ini mengakibatkan hilangnya sebagian besar hadits dan
adanya kesempatan untuk pealsuan hadits yang mengakibatkan merebaknya periwayatan dalam
makna (riwayat bi al ma’na). Dan karena orang hanya menerima hadits lewat lisan, maka
ketika menyampaikannyapun hanya menyampaikan maknanya, sehingga dalam
periwayatan hadits dapat berubah-ubah. Mengingat makna redaksi hadits itu
berkembang sesuai orang yang meriwayatkannya. Dan inilah yang menimbulkan
banyaknya perbedaan pendapat dalam penafsiran hadits. Kemudian memunculkan ra’y
atau oleh Rahman diidentifikasi sebagai sunnah.
yangmana orang lebih cenderung mencari petunjuk pada ra’y karena
hilangnya sejumlah hadits akibat perbedaan pendapat.
Ketika terjadi
suasana yang tidak ada acuan universal, maka munculah gerakan massif untuk
membawa konsep sunnah kedalam konsep hadits. hadits -hadits kemudian dihidupkan
kembali, namun upaya ini mengalami kesulitan yang besar menyangkut pengujian hadits yang dapat
dipertanggungjawabkan validitasnya yang kemudian dirumuskan kaidah-kaidah kesahihan hadits (‘ulum al-hadits).
Dengan
demikian jika ada pernyataan mengenai hadits nabi telah ada sejak awal
perkembangan Islam itu adalah sebuah kenyatan yang tidak dapat diragukan lagi
dan mematahkan pernyataan bahwa hadits adalah produk belakangan.
Perkembangan hadits berjalan pararel dengan praktek para
sahabat dan umat. Dalam hal ini hadits mengalami tahapan yang panjang sebelum
ia ditetapkan
sebagai sentral keputusan hukum Islam. Memang dulu pada masa-masa awal sunnah
menjadi standar bagi manifestasi sunnah ideal Nabi, akan tetapi pada masa
al-Syafi’iy dan seterusnya haditslah yang kemudian menjadi manifestasi teladan
Nabi.
D.
Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam
setelah Al-Qur’an dan Hadits
1.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad
memiliki arti kesungguhan, yaitu mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan.
Ijtihad dari sudut istilah berarti menggunakan seluruh potensi nalar secara
maksimal dan optimal untuk meng-istinbath suatu hukum agama yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok ulama yang memenuhi persyaratan tertentu, pada waktu
tertentu untuk merumuskan kepastian hukum mengenai suatu perkara yang tidak ada
status hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunnah dengan tetap berpedoman pada dua
sumber utama.
Dengan
demikian, ijtihad bukan berarti penalaran bebas dalam menggali hukum satu
peristiwa yang dilakukan oleh mujtahid, melainkan tetap berdasar pada Al-Qur’an
dan sunnah. Walaupun ijtihad diperbolehkan untuk dilakukan oleh mujtahid (orang
yang berijtihad) yang memenuhi syarat, namun tidak berarti bahwa ijtihad dapat
dilakukan dalam semua bidang. Ijtihad memiliki ruang lingkup tertentu.
Syaikh Muhammad
Salut, misalnya membagi lingkup ijtihad ke dalam dua bagian:
a.
Permasalahan yang tidak ada atau tidak jelas ketentuan
hukumnya dalam Al-Qur’an atau hadist Nabi.
b.
Ayat-ayat Al-Qur’an tertentu dan hadis tertentu tidak
begitu jelas maksudnya yang mungkin disebabkan oleh makna yang dikandung lebih
dari satu sehingga perlu ditentukan dengan jalan ijtihad untuk mengetahui makna-makna
yang sesungguhnya yang dimaksud.[11]
2.
Macam-macam Ijtihad
a.
Ijmak.
Ijmak berarti menghimpun, mengumpulkan, atau bersatu dalam
pendapat, dengan kata lain ijmak merupakan consensus yang terjadi di kalangan
para mujtahid terhadap suatu masalah sepeninggal Rasulullah SAW. Ahli ushul
fikih mengemukakan bahwa ijmak adalah kesepatan para mujtahid kaum muslimin
dalam suatu masa sepeninggal Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syariat
mengenai suatu peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa yang memerlukan
ketentuan hukum yang tidak ditemukan dalam kedua sumber sebelumnya (Al-Quran
dan sunnah) maka para mujtahid mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu
peristiwa dan jika disetujui atau disepakati oleh para mujtahid lain,
kesepakatan itulah yang disebut ijmak.
Ijmak
merupakan salah satu sumber hukum Islam yang memiliki posisi kuat dalm
menetapkan hukum dari suatu peristiwa. Bahkan telah diakui luas sebagai sumber
hukum yang menempati posisi ketiga dalam hukum Islam. Sejumlah ayat dan hadits nabi menjadi pembenaran teologis kekuatan ijmak sebagai
sumber hukum dalam Islam. Pemberian warisan kepada nenek laki-laki
(jadd) ketika ia berkumpul dengan laki-laki orang yang meninggal dunia yang
dalam keadaan seperti ini nenek laki-laki tersebut menggantikan ayah (orang
yang meninggal) untuk menerima seperenam dari harta warisan atau harta
peninggalannya merupakan contoh penetapan hukum berdasarkan ijmak sahabat.
Dalam
transaksi jual beli, misalnya istishna’ atau pemesanan barang yang baru akan dibuat yang
seharusnya tidak boleh,karena dinilai sama seperti halnya membeli barang yang
tidak ada, merupakan contoh hukum yang bersumber dari hasil ijmak sahabat
(Hanafi, 1995: 61) Penggunaan ijmak sebagai sumber hukum dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa secara historis terjadi pasca wafatnya Nabi SAW. Selama beliau
hidup, setiap peristiwa yang muncul selalu diminta untuk ditetapkan hukumnya
sehingga tidak mungkin terjadi perlawanan hukum terhadap suatu masalah. Ijmak
yang memiliki kehujahan sebagai sumber hukum didasarkan pada sejumlah
argumentasi teologis terutama ayat 59 surah An-nisa’ yang didalamnya terdapat
anjuran untuk taat pada ulil amri setelah taat pada Allah SWT dan Rosul-Nya.
Ulil amri dalam ayat tersebut dipahami sebagai pemegang urusan dalam arti luas
mencakup urusan dunia ( seperti kepala Negara, menteri, legislative, dan
lain-lain) dan pemegang urusan agama seperti para mujtahid, mufti, dan ulama.
Karena itu, apabila ulil amri telah sepakat dalam status hukum suatu urusan
maka wajib ditaati, diikuti, dan dilaksanakan sebagaimana mentaati, mengikuti,
dan melaksanakan perintah Allah SWT dan Rosul-Nya dalam (QS. An-nisa’ [4] : 83
):
وَإِذَا
جَآءَهُمْ أَمْرٌ مِّنَ الاٌّمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُواْ بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ
إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِى الاٌّمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَـنَ إِلاَّ
قَلِيلاً
Artinya: Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).
Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu
mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu). (QS.
An-nisa’ 4: 83)
Argumentasi yang
kedua yang dijadikan pembenaran kehujahan ijmak sebagai sumber hukum Islam
adalah sejumlah hadis Nabi SAW yang menjelaskan terpeliharanya umat Islam dari
bersepakat membuat kesalahan dan kesesatan separti hadis Nabi SAW yang
diriwayatkan Ibnu Majah, yang mengatakan : “umatku tidak sepakat untuk membuat
kekeliruan.” Hal ini berarti bahwa kesepakatan yang telah dicapai oeh para
mujtahid memiliki kehujahan yang kuat sebagai sumber hukum dalam Islam dan
wajib diikuti oleh umat Islam pada umumnya.
b. Qiyas
Secara harfiah
berarti analogi atau mengumpamakan. Adapun menurut pengertian para ahli fikih,
qiyas adalah menetapkan hukum tentang sesuatu yang belum ada nash atau dalilnya
yang tegas, dengan sesuatu hukum yang sudah ada nash atau dalilnya yang
didasarkan atas persamaan illat antara keduanya. Misalnya, menetapkan haramnya
minuman bir yang tidak ada dalilnya dalam Al-Qur’an dengan khamar yang ada
hukumnya di dalam Al-Quran. Menyamakan atau menganalogikan bir dengan khamar
ini didasarkan pada adanya persamaan illat antara keduanya, yaitu memabukkan.
c. Al-mashlahat
al-mursalah
Secara harfiah
berarti sesuatu yang membawa kebaikan bagi orang banyak. Adapun menurut para
ahli hukum Islam, Al-mashlahat al-mursalah adalah sesuatu yang didalamnya
mengandung kebaikan bagi masyarakat, sehingga walaupun pada masa lalu hal
tersebut tidak diberlakukan, namun dalam keadaan masyarakat yang sudah makin
berkembang, keadaan tersebut dianggap perlu dilakukan. Misalnya, pembukuan
Al-quran dalam bentuk mushaf seperti yang ada sekarang perlu dilakukan, mengingat jumlah para penghafal Al-Quran makin sedikit karena
meninggal dunia, serta pertentangan dalam membaca Al-Quran sering terjadi.
d. ‘Urf
Secara harfiah
berarti sesuatu yang berlaku atau yang sudah dibiasakan. Adapun menurut para ahli
hukum Islam, ‘urf adalah sesuatu yang berlaku dimasyarakat atau tradisi yang
mengandung nilai-nilai kebaikan bagi masyarakat. Contonya kebiasaan merayakan
hari raya yang pada zaman sebelum Islam, namun dinilai mengandung kebaikan,
maka tetap dilanjutkan.
e. Istihsan
Secara harfiah
berarti memandang sesuatu sebagai yang baik. Menurut Islam, istihsan artinya segala sesuatu yang
dipandang manusia pada umumnya sebagai hal yang baik, dan tidak bertentangan
dengan al-Quran dan sunnah. Penggunaan istihsan ini antara lain didasarkan pada
sabda Rasulullah SAW : Artrinya : “segala sesuatu yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka yang demikian itu disisi Allah
dipandang sebagai hal yang baik.”
f. Qaul al-shahabat
Secara harfiah
berarti ucapan sahabat. Dalam pengertian umum, Qaul al-shahabat adalah
pendapat, pandangan, pikiran, dan perbuatan para sahabat yang sejalan
denganAl-Quran dan sunnah. Penggunaan Qaul al-shahabat sebagai dasar hukum,
mengingat para sahabat selain sebagai orang yang dekat, bergaul dan ikut berjuang
dengan Rasulullah SAW, juga memang memiliki pemikiran, gagasan, dan karya-karya
yang layak untuk dijadikan bahan renungan dan pertimbangan dalam mengembangkan
ajaran Islam pada masa selanjutnya.
g.
Syar’un man qablana
Secara harfiah
berarti agama sebelum kita. Dalam pengertian yang lazim, Syar’un man qablana
adlah ajaran yang terdapat didalam agama yang diturunkan Tuhan sebelum Islam
yang terdapat di dalam kitab Zabur, Taurat, Injil yang masih asli yang tidak
bertentangan dan masih sesuai dengan kebutuhan zaman. Di dalam kitab Taurat
yang ditinggalkan Nabi Musa misalnya terdapat ajaran mengesakan Tuhan, larangan
menyekutukan-Nya, memuliakan kedua orang tua, memiliki kepedulian terhadap
kerabat, orang miskin, ibnu sabil, bersikap boros, membunuh anak, berbuat zina,
memakan harta anak yatim, mengurangi timbangan, menjadi saksi palsu, dan
larangan bersikap sombong. Ajaran yang dibawa Nabi Musa ini terus dilanjutkan
oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana terdapat dalam QS. Bani Israil (17) ayat 23
sampai dengan ayat 37. Ajaran yang pernah berlaku pada zaman Nabi Musa itu,
masih tetap diberlakukan dimasa sekarang, karena masih dianggap cocok dan
dibutuhkan untuk zaman sekarang dan yang akan datang. [12]
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa sumber ajaran islam ada tiga macam, yaitu Al-qur’an, hadits
dan ijtihad. Al-qur’n sebagai sumber
hukum Islam yang pertama yaitu Al-qu’an berisi tentang semua kehidupan yang ada
di alam, perintah, akidah dan kepercayaan, akhlak yang murni, mengenai syari’at
dan hukum dan sebagai petunjuk umat Islam. Sedangkan Hadits itu sebagai sumber ajaran
islam karena dalam Dalil al-qur’an mengajarkan kita untuk mempercayai dan
menerima apa yang telah disampaikan oleh Rasul untu dijadikan sebagai pedoman
hidup. Selain itu dalam hadits juga terdapat pertnyataan bahwa berpedoman pada
hadits itu wajib, bahkan juga terdapat dalam salah satu pesan Rasulullah
berkenaan menjadikan hadist sebagai pedoman hidup setelah Al-qur’an sebagai
sumber yang pertama. Ijtihad sebagai sumber ajaran karena melalui konsep
ijtihad, setiap peristiwa baru akan didapatkan ketentuan hukumnya Dari
pemaparan makalah kami tersebut kita tahu bahwa sumber ajaran islam sangat
penting sebagai pedoman hidup, untuk itu hendaknya apabila kita melenceng dari
salah satu sumber ajaran tersebut, maka akan menjadikan hal yang fatal.
V.
Daftar
Pustaka
‘Abd Az-‘azhim, Az-Zarqani Muhammad. Manhil al-‘irfan,
Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I hlm 106.
Amin,
Muhammad Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013
Didik ahmad supadi dan sarjuni, Pengantar
studi Islam, Semarang: Rajawali Pers, 2011
Mahfud, Rois. Al-Islam PendidikanAgama Islam, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011
Muhaimin,
dkk. Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, Jakarta: kencana,
2012
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah,
Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000
Nata, Abuddin. Studi Islam komperehensif, Jakarta: Kencana 2011
Suparta, Munzier.
Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Uhbiyati,
Nur. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2013
VI.
BIODATA
PEMAKALAH
1. Nama :
Ahmad Maulidin
NIM : 133711016
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL : Kendal, 13 Agustus 1994
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1
IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Jambearum 2/1 patebon, Kendal, 51251
2. Nama :
Fiki Himmatul Aliyah
NIM : 133711017
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL :
Pekalongan 18 maret 1995
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1
IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Kebonrejopucang, Karangdadap,
Pekalongan
No.Hp : 085642907450
Email : fikihimmatul_aliyah@yahoo.com
Twetter : @fikihimatul_A
3. Nama :
Ranum Saputri
NIM : 13371018
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL : Grobogan, 20 Mei 1995
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1
IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Rt/0 Rw/4 Gubug, Grobogan, Jateng
No.Hp : 085713075419
Email : ranum.saputri@gmail.com
Twetter : @ranum_saputri
4. Nama : Luthfiyatu dzikriyah
NIM : 133711020
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL : Keendal, 19 April 1996
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1
IAIN Walisongo Semarang
Alamat : Bulak 2/III Rowosari, Kendal
No.Hp :
085641869641
Email : luthfiyatu.dzikriyah@gmail.com
5. Nama :
Aliefa Sana
NIM : 133711021
Jurusan/Prodi : Tadris Kimia
TTL : Semarang, 19 Febuari 1995
Tempat Tugas : Kampus 2 IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan saat ini : S-1
IAIN Walisongo Semarang
Alamat : tugu rejo A7 Rt/ 04 Rw 01, Semarang,
Jateng
No.Hp : 085727676807
Email : sana.aliefa@yahoo.com
Twetter : @efa_sana
[1] Nur Uhbiyati, Dasar-dasar
Ilmu Pendidikan Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2013, halaman 25
[2] Muhaimin, dkk. Studi
Islam dalam ragam dimensi dan pendekatan, Jakarta: kencana, 2012, halaman 81
[4] Muhammad ‘abd az-‘azhim
az-zarqani, Manhil al-‘irfan, Dar al-Fikr, Bairut, t.t, jilid I hlm 106.
[5] Muhammad Amin Suma. Ulumul
Qur’an. Jakarta: Rajawali, 2013 halaman
[6] Musahadi HAM, Evolusi Konsep
Sunnah, Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 80
[7] Drs. Munzier Suparta, Ilmu
Hadits, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm 56
[8] Musahadi HAM, Evolusi konsep
sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 82
[9]
Musahadi HAM, Evolusi konsep sunnah, Semarang: CV. Aneka Ilmu,
anggota IKAPI, 2000, hlm 84
[10] Musahadi HAM, Evolusi Konsep
Sunnah. Semarang: CV. Aneka ilmu, anggota IKAPI, 2000, hlm 119
[11] Rois Mahfud, Sumber Ajaran
Islam, Palangka raya: Erlangga, 2011,
halaman 117-118.
0 komentar